Dinsdag 31 Desember 2013

I Knew I Loved You -Chapter5-


**
This isn’t goodbye, even as I watch you leave..
This isn’t goodbye, I swear I won’t cry..
Even as tears fill my eyes, I swear I won’t cry..
( What makes a man – Westlife )

            Seminggu lagi tepat satu tahun kepergian Fero, semenjak aku kehilangannya aku lupa caranya tersenyum, aku lupa caranya bisa bahagia dengan sepenuh hati. Kini jessy meninggalkanku, ia kembali kejakarta bersama Daniel. Yah ternyata Daniel harus mengambil alih perusahaannya dijakarta. Walaupun disini ada Melly dan juga Ditya aku tetap merasa kesepian. Ingin rasanya aku pergi kejakarta untuk mendatangi Fero di peristirahatannya yang terakhir. Jujur saja aku sangat merindukan Fero, renyah tawanya, lesung pipinya, gayanya yang sangat keren, dan juga sikapnya yang menyenangkan.
“Rani, boleh aku masuk?” Suara Ditya menggema dibalik pintu yang aku tutup rapat. Bicara tentang Ditya hubungan kami semakin dekat, kadang ia mengajakku jogging, berjalan-jalan, sampai makan malam berdua. Ditya juga rasanya sudah seperti saudara kandungku, walaupun sampai saat ini yang aku ketahui hanya cerita tentang kecelakaannya.
“masuk saja, pintunya tidak terkunci” Jawabku, aku berpura-pura memainkan ponselku. Aku membaca kembali pesan singkat yang mama Fero kirimkan untukku. Ia memintaku untuk hadir diacara satu tahun kepergian Fero.
“kau sudah makan?” Tanya Ditya. Aku mengangguk.
“kapan? Sepertinya makanan masih terpampang rapih dimeja makan, dan menurut bibik kau memang belum makan dari kemarin siang” Tutur Ditya, bagaimana aku napsu makan. Melihat nasi saja aku sudah mual.
“aku sedang tidak lapar” Jawabku singkat.
“kau ini bagaimana, kalau punya masalah jangan disangkut pautkan dengan pola makan dong. Kalau sakit bagaimana? Aku ambilkan ya? Atau mau aku suapin?” Goda Ditya, melihat wajah ditya yang seperti itu tiba-tiba saja wajahku bersemu merah.
“aku bisa makan sendiri. Lagian siapa bilang aku punya masalah? Sok tau sekali kau” Elakku, Ditya tertawa Geli.
“dasar tukang bohong. Tunggu disini, aku akan mengambilkan makanan untukmu” Tuturnya.
            Beberapa menit kemudian ditya kembali kekamarku dengan membawa piring yang penuh dengan makanan. Aku cukup terharu, ternyata dia memperhatikanku.
“sini ayo aku suapi” Ujarnya, ia duduk disebelahku dan sudah siap menyuapiku dengan makanan favorite ku.
“aku bisa makan sendiri Dit” Komentarku. Aku mengambil alih piring yang dipegang oleh Ditya.
“akhir-akhir ini kau selalu melamun, sebenarnya ada apa?” Tanya Ditya, aku menaruh piring diatas meja.
“melamun? Itu perasaanmu saja. Aku baik-baik saja Ditya” Jawabku.
“Benarkah? Baiklah, mungkin memang perasaanku saja” Tuturnya. ia kembali berkutat dengan laptopku. Seperti biasa ia menggunakannya untuk bermain games.
“dua minggu lagi aku harus kembali kejakarta. Ibu memintaku untuk kembali, ia bilang aku sudah cukup lama merepotkan Tante tiwi.” Ucapan Ditya membuat makanan yang baru saja aku telan kembali ke tenggorokan. Kaget? Tentu saja, hanya ditya yang aku punya disini. Hanya dia yang membuatku lupa akan kesedihanku.
“haruskah kau pergi? Lalu bagaimana denganku?” Gumamku pelan.
“Apa katamu?” Tanya Ditya, aku menggeleng.
“tidak, aku tidak berkata apa-apa” Elakku, sekilas raut kecewa ditunjukan oleh lelaki berambut yang hampir panjang itu. Bagaimana sekarang? Ditya akan pergi Dari sini, pertemuan kami memang tidak diharapkan, tapi kenapa sekarang aku harus kehilangan orang yang –cukup- berharga untukku. Aku ---Ah entahlah aku sulit menjelaskan perasaanku saat ini.
**
-author’s POV-
            Sehari sebelum Ditya pergi ke Jakarta, ia mengajak Rania untuk melewati satu hari bersamanya. Walaupun Ditya menyadari banyak yang disembunyikan Rani darinya, tapi ia tetap memilih diam sampai Rani siap untuk menceritakannya. Ditya kini mulai merasakan getaran lain dalam hatinya pada Rani, perasaan ini ia rasakan sekitar beberapa bulan yang lalu, tepat dimana ia mengajak gadis berambut lurus sebahu itu ke satu restaurant favoritenya disini. Rania yang dibalut sebuah dress berwarna cream dengan make up tipis cukup membuat hatinya berdebar. Membuat perasaannya itu menjadi serba salah, bahkan saat sang gadis merangkul dirinya secara tiba-tiba jantungnya seakan meloncat kesegala arah. Begitulah cinta, muncul secara tiba-tiba. Ditya maupun Rania tidak pernah tau akan dipertemukan, apalagi untuk jatuh cinta rasanya terlalu sulit untuk dibayangkan.
“Ditya. Kau jangan lupa untuk mengabariku ya!” Ujar Rania saat sosok ditya menghilang, masuk kedalam mobil jemputannya.
“aku pasti akan mengabarimu sesampainya aku dijakarta. Jaga dirimu baik-baik. Jika ada kesempatan aku akan kembali untuk menemuimu” Balas pria itu. Pria yang dibalut polo shirt, celana jeans dan rambutnya yang mulai panjang ia ikat kebelakang. Entah melihat Ditya yang seperti itu Rani malah melihat perbedaan yang sangat jelas, Ditya adalah Ditya, bukan Fero ataupun orang lain. Mobil yang dikendarai Ditya kini perlahan menghilang, ibu memeluk Rani dengan erat. Akankah Rani kembali kehilangan seseorang yang –mungkin- dicintainya.
“ibu, kenapa Rani menangis?” Tanya Melly, Rani mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Rani hanya sedang kesepian sayang” jawab ibunya diplomatis. Ranib mengulas sedikit senyuman, hanya sedikit.

Saterdag 28 Desember 2013

Hadiah Untuk Devi :-)



Kado Spesial Diusia Tujuh Belas


Satu bulan lagi, satu bulan lagi adalah bulan desember, tepat ditanggal 27 desember . Bulan yang selalu ditunggu oleh gadis yang akan berusia tujuh belas tahun. Gadis itu menyematkan gaun yang akan ia pakai bulan depan . Gaun yang selalu ia harapkan agar membuatnya menjadi gadis yang paling cantik. Gadis yang mungkin saja bisa menarik perhatian lelaki idamannya .

"Dev, bisa gak udahan nyoba gaunnya? Katanya mau ke toko buku?" Suara nyaring yang ditimbulkan gadis yg satu tahun lebih tua darinya. Devi menoleh dan tersenyum lebar.

"Okay my sweet sister. Gue kan cuma lagi nyoba gaun ini" Jawab Devi, gadis itu menaruh kembali gaun kedalam lemarinya.

"Uhm, kalo gak salah elo selalu nyoba gaun itu setiap hari kan? Apa perlu? Tuh gaun gak akan berubah, dear" Devi kembali terkekeh.

"Okay, udh cukup ya ceramahnya. Skrg ayo kita ke toko buku" Pungkas Devi.


Devi Rahmawati, yang kini menjadi siswi disekolah SMA pelita hati kelas dua belas memang sedang sibuk mencari buku untuk ujian nasional. Dan perempuan disebelahnya adalah Gladys, sepupu yang umurnya satu tahun lebih tua, namun ia masih bersekolah ditempat yg sama dengan devi.

"Gimana sama Bayu? Beneran mau ngundang dia?" Tanya Gladys , Devi menoleh kearah sepupunya yg sedang menyetir.

"Gak tau, dys. Dia kan cowok populer, kalo dia nerima undangan gue aja udh syukur banget ck" Jawab Devi putus asa.

"Biar gue yang ngasih. Lagian, sepupu lo ini kan termasuk cewek populer. Remember?" Tutur Gladys terkekeh.

"Ya, siapa sih yang gak kenal Gladys Anindita? Pacar dari Andross Pratama, si ketua osis?" Ledekku, Gladys pun ikut tertawa.


**

Disekolah. Lagi-Lagi Devi duduk ditepi lapangan basket, menatap penuh perasaan cinta, dan juga kagum kepada Bayu Orlando Rahardian. Si kapten team basket. Devi sudah menyimpan perasaan suka semenjak Bayu menolongnya.

Sore itu ada kegiatan PMR, salah satu ekskul yang diikuti devi. Sementara Gladys harus absen karena ibunya masuk rumah sakit. Sementara sore itu Devi menunggu angkutan umum, kurang lebih satu jam, sudah hampir putus asa. Akhirnya Bayu yang kebetulan lewat menawarkan bantuan untuk mengantar devi pulang. Dan sejak saat itu, ia memilih untuk mengincar Bayu. Menyukainya dalam diam. Bahkan mengaguminya dari jauh.

"Hey? Bagi minumnya ya?" Suara itu mengalihkan lamunan Devi. Suara yang benar-benar khas ditelinganya.

"Loh, sejak kapan elo disini Bay?" Tanya Devi seraya menggaruk kepalanya.

"Sejak liat elo terus ngeliatin gue sambil melamun" Jawab Bayu sambil terkekeh. Wajah Devi memerah yang mendengar jawaban Bayu. Dan itu membuat bayu semakin geli.

"Thanks minumnya, anyway, muka lo merah tuh" Bayu kembali ke lapangan, namun sebelum kembali ia mengacak pelan rambut devi .


**


"Bayu ngambil minuman elo terus ngacak rambut elo? Itu kemajuan dong?" Seru Gladys, Devi menutup mulut Gladys.

"Ssh, jangan kenceng-kenceng! Kalo anak-anak pada denger kan gue gak enak, dys!" Gladys memberengut.

"Ini kabar baik dev! Bayu udh mulai sadar keberadaan elo!" Seru Gladys sekali lagi.

"Ini ada apa sih?" Suara andross membuat gladys tersenyum simpul.

"Itu loh yang, si bayu udh mulai nganggep si Devi" tutur Gladys senang.

"Wah, kabar bagus tuh dev. Udh lama kan ngarepin itu?" Sambung Andross.

"Please ya ndross, dys, gak usah bikin gue malu deh!" Tutur Devi.

"Hey, seru banget? Gue boleh gabung?" Suara seorang pria itu membuat Devi salah tingkah. Bayu. Lelaki itu kini berdiri dengan senyum lebarnya.

"ohh hey bay. Iya nih, kita lagi ngomongin acara ultahnya devi bulan depan!" Sahut Gladys.

"Oh ya? Wah, ultah yang ke berapa dev?" Tanya Bayu, mata coklat milik bayu menatap hangat Devi.

"Eh? Ultah yang ke tujuh belas, bay. Iya tujuh belas" dalam jarak yang sedekat ini tentu membuat Devi salah tingkah, ditambah jantungnya yang tak kunjung berhenti. Oh, devi ingin lari saja rasanya.

"Semua anak-anak diundang?" Tanya bayu lagi.

"Tentu bay, elo juga pasti diundang" jawab Andross, devi kontan melotot mendengar ucapan Andross. Ia tidak menyangka Andross akan menyampaikan undangan tersebut.

"Kayaknya elo salah deh Ndross. Muka devi aja kayak gak setuju lo bilang gue diundang" sambung Bayu.

"Eh? Enggak Bay, bukan gitu. Cuma gue masih belom fix aja soal pestanya. Soalnya rencana awal cuma orang terdekat aja sih yang diundang" Tutur Devi, mendengar ucapan Bayu hatinya mendadak jadi tidak enak.

"Itu mah pasti Dev, gue kan udh bicarain ini sama nyokap lo sebelumnya! Tinggal terima beres deh" Ujar Gladys disertai senyuman jailnya.


##


Minggu, 20 Desember 2013.


Seminggu sebelum acara ulang tahunnya Devi malah terlihat santai. Ia bahkan dibilang tidak terlalu perduli. Menurutnya apa yang direncanakan oleh Ibu dan juga Gladys sangat lah berlebihan. Ia tau dan mengerti kalau ulang tahun nya ini harus menjadi ulang tahun yg berkesan. Angka tujuh belas bukan kah selalu penting dalam perayaan ulang tahun?

"Dys! Gue udah punya Gaun, dan gaun gue udh cukup untuk bikin gue nyaman." Ujar Devi, sore itu Gladys memaksanya untuk membeli gaun baru.

"Enggak! Gaun lo itu agak norak, terlalu jaman dulu banget deh" Jawab Gladys, memang gaun yang dimiliki devi bisa dibilang gaun model lama. Namun Devi menyukainya.

"Norak? Dys, inget gak? Dulu kan elo juga suka sama gaun itu?" Devi masih tidak habis fikir dengan tingkah sepupunya.

"No! Pokoknya besok gue bakal anterin elo ke butik langganan gue! Kita pesen gaun baru! Gue mau elo keliatan special di hari yang special!" Tanpa menunggu persetujuan devi, gladys keluar meninggalkan kamarnya.

"Selalu deh! Dasar egois!" Rutuk Devi.


**

"Suntuk banget? Kenapa?" Suara Bayu yang khas membuat lamunan Devi buyar. Hari ini hari yang sangat sial. Bagaimana tidak? Seharian ini dia lebih banyak melamun dibanding mendengarkan guru-gurunya. Bahkan ia hampir dikeluarkan dari kelas.

"Eh, Bayu. Gak papa bay. Cuma lagi bete aja!" Jawab Devi seraya tersenyum. Lagi-lagi ia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang.

"Ohiya, gimana persiapan pestanya? Semua anak kelasan lo diundang ya? Anggota PMR juga? Terus gue gimana? Gue kan bukan kelasan lo + bukan anak PMR" Tutur Bayu, devi menoleh sejenak. Gadis itu tersenyum melihat sosok yang sudah ia kagumi sejak lama.

"Tentu aja lo diundang! Bukannya Andross udh pernah bilang ya?" Balas Devi.

"Yah, kan gue cuma mau diundang secara langsung sama elo. Yaudah gak usah bete ya dev. Anyway gue harus ke lapangan indoor nih. Rapat team basket! Duluan ya" lagi-lagi Bayu mengacak pelan rambut Devi. Dan selepasnya Devi hanya ternganga tak percaya.


Sore ini Gladys benar-benar memenuhi ucapannya. Ia memaksa Devi untuk ikut membeli gaun dibutik langganannya. Butik yang terletak disebuah mall besar itu membuat Devi tidak nyaman. Gaun disini terlalu mewah, itu fikirnya.

"Dev, gaun yang ini gimana?" Gladys menunjukan satu gaun selutut dengan tali silang dibelakang, dan berwarna

"PINK? Dys, elo tau gue dari kecil kan?" Seru Devi, namun Gladys hanya terkekeh.

"Okay, wait. Gue bakal cari gaun yang paling bagus buat elo!" Tutur Gladys.

Devi mengedarkan pandangannya, ia sama sekali merutuk diri. Bagaimana jika ia tidak pantas memakai gaun sebagus ini.

"Cobain yang ini" Gladys mendekati Devi dengan sebuah gaun ditangannya. Devi memperhatikan gaun berwarna merah itu dengan seksama. Gaun dengan tali spagetti, serta tali dibagian perut, dan ada corak mawar.

"Tapi, dys!"

"Gak pake tapi-tapi.an! Skrg coba deh!" Paksa Gladys, Devi menurutinya. Ia berjalan dengan membawa gaun itu menuju ruang ganti. Setelah gaun itu menempel dibadannya, ia memperhatikan dengan seksama.

"Gimana dys?" Tanya Devi, Gladys menatap sepupunya dengan wajah berbinar.

"Sempurna! Tinggal vermak muka lo aja dev! Haha" jawab Gladys. Devi tidak menjawab namun ia membuang wajah dari sepupunya.

"Oke, kita ambil gaun ini." Sambung Gladys.


***


Hari yang dinanti pun tiba, rumah Devi telah disulap sedemikian rupa untuk pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Ibu, ayah, dan juga Gladys sudah mempersiapkan yang terbaik untuk pesta ulang tahun ke tujuh belasnya.

Jam sudah menunjukan pukul tujuh, semua tamu undangan sudah datang dari tadi. Ucapan serta kado pun sudah menumpuk untuknya. Namun matanya masih mencari. Mencari seseorang yang sedang ia tunggu.

"Dev, ayo sayang. Waktunya tiup lilin" Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Devi. Gadis itu menatap mata ibunya dengan tatapan memohon.

"Sebentar lagi ya, ma. Masih ada yang harus ditunggu" tutur Devi.

"Oke, mama kasih waktu lima menit. Kalo yang ditunggu belom datang juga, kamu harus tetap tiup lilinnya" Ujar sang mama. Devi mengangguk.

Gadis itu masih menatap pintu rumahnya dengan harapan Bayu akan segera datang. Ia sudah berkorban untuk di make over oleh Gladys. Gladys mengubah Devi layaknya seorang princess di disneyland. Dan ini semua demi Bayu. Demi seseorang yang sudah ia kagumi, bahkan ia cintai dalam diam.

"Dev, lima menit lo udah berakhir. Nyokap sama bokap lo nyuruh gue nyamperin lo! Anak-anak yg lain juga udah nunggu lo buat tiup lilin" Gladys menepuk pundak Devi. Ia melihat tatapan Devi yang nanar.

"Dia gak dateng, dys. Dia ingkar janji" tutur Devi, lalu melangkah menuju kue ulang tahunnya.

Devi berdiri tepat dihadapan kue ulang tahunnya. Kue yang berbentuk Elmo dengan lilin ber-angka 17 sama sekali tidak terlihat menggairahkan dimata Devi. Semua itu tampak biasa saja. Mengapa ia bisa sesakit ini mengetahui kalau Bayu tidak datang?

"Tiup lilinnya .. Tiup lilinnya .. Tiup lilinnya sekarang juga.. Sekarang jugaaaaa" seluruh tamu bernyanyi layaknya anak kecil, devi mengucapkan harapan terakhirnya sebelum meniup lilin.

'Aku cuma ingin dia sebagai kado terindah diusia 17 ini tuhan. Hanya dia. Hanya Bayu Orlando Rahardian' ucap devi dalam hati. Lalu ia pun meniup lilin tersebut.

"Nah, potongan kue pertama buat siapa?" Celetuk rachel, teman sekelasku.

"Tentu buat kedua orang tua gue dong!" Jawab Devi sambil menunjukan senyumnya. Ia memberikan potongan kue pertama kepada kedua orang tuanya.

"Sekarang udah tujuh belas tahun kan? Tandanya gak boleh males, makin dewasa, makin rajin belajarnya" Ujar sang ayah lalu mencium pipi anak semata wayangnya.

"Iya, jangan marah-marah mulu. Prestasi disekolah juga jangan sampe turun" sambung sang ibu. Devi mengangguk.

"Nah potongan ketiga ini buat sepupu gue yang super Bawel!" Devi menghampiri Gladys dan memberinya kue.

"Aaah thankyou so much, sweetie." Gladys mencium pipi Devi.

"Ur wellcome, baby" Balas Devi terkekeh.

"Nah, buat gue mana?" Tanya Andross.

"Kalo mau potong aja sendiri" jawab devi sambil tertawa.

"By the way, ada satu kado lagi nih buat lo dev! Yang ini kado special, sesuai permintaan elo" Tutur Gladys.

"Hah? Special? Jangan bilang elo ngundang bryan adams? Haha" balas Devi.

"Ini sih lebih special dari Bryan Adams! Lo pasti suka" sambung Andross. Devi hanya bisa mengangkat bahu dan mengikuti kemana arah Gladys dan Andross pergi. Dan ternyata ditaman belakang ada sebuah panggung kecil, ada beberapa tamu yang sudah memenuhi tempat duduk.

"Lo ngundang artis? Siapa?" Tanya Devi.

"Duduk aja, nanti juga lo tau" Jawab Gladys singkat.

Devi duduk di barisan tengah, ia menatap lekat-lekat seorang pria yang menggunakan kemeja dan sebuah gitar yang duduk di panggung mini tersebut.

"Itu Bayu?" Tanya Devi.

"Ssh, dengerin aja dulu!" Jawab Andross.


Look into my eyes. You will see .

What you mean to me.

Search your heart. Search your soul.

And when you find me there you'll search no more.


Don't tell me, its not worth tryin for.

You can't tell me its not worth dyin' for.

You know its true. Everything I do.

I do it for you.


Look into my heart. You will find.

There's nothing there to hide.

Take me as I am. Take my life.

I would give it all. I would sacrifice.


Don't tell me its not worth fighting for.

I can't help it. There's nothing I want more.

Ya know its true. Everything I do.

I do it for you.


There's no love. Like your love.

And no other could give more love.

There's nowhere. Unless you're there.

All the time. All the way.


Oh- you can't tell me its not worth tryin for.

I can't help it. There's nothing I want more.

I would fight for you. I'd lie for you.

Walk the wire for you. Ya I'd die for you.

Ya I know its true. Everything I do.

I do it for you.


Suara riuh tepuk tangan membuat air mata devi semakin mengalir. Jadi Bayu sudah berada disini sejak tadi? Dan ia begitu bodoh tidak menyadarinya.

"Lagu tadi gue persembahkan buat yang lagi ulang tahun hari ini. Maaf kalo gue gak nemenin elo tiup lilin + potong kue dev. Gue cuma mau kado dari gue yang paling special diulang tahun lo yang ke tujuh belas" tatapan Bayu dan Devi bertemu, air mata devi kembali jatuh.

"Oh iya, ada satu hal lagi yang mau gue ungkapin. Gue sayang sama elo dev, gue cinta sama elo. Maukah elo jadi pacar gue?" Pertanyaan Bayu seolah membuat Devi mati kutu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Jawab dev!" Seru Gladys. Devi tersentak kemudian mengangguk.

"Gue mau jadi pacar lo!" Jawab Devi yang disusul oleh tepuk tangan serta pelukan dari Bayu.


**

Seminggu setelah ulang tahunnya devi baru menyadari, gaun yang ia kenakan itu adalah gaun yang dipesan oleh Bayu secara khusus. Bayu yang memilihnya. Dan selama ini usaha bayu mendekati nya memang sudah terancang dengan apik dengan bantuan gladys dan juga Andross tentunya.

"Ngelamunin apa sih? Cowok lain ya?" Suara bayu yang khas membuat Devi menoleh. Kekasihnya baru saja selesai bermain basket.

"Enggak! Cuma beruntung aja bisa jadi pacar elo!" Jawab devi sambil terkekeh.

"Haha, thanks banget buat gladys sama andross yang udah bantuin gue!l" ujar Bayu.

"Gue kira cuma gue yang suka sama elo, tapi ternyata tuhan baik. Dia mau ngabulin doa gue. Dia mau ngasih elo sebagai kado special di ulang tahun gue yang ke tujuh belas" tutur Devi.

"Yah, tuhan memang selalu baik kan?" Balas Bayu seraya mengacak rambut kekasihnya itu.

Setelah berpacaran Devi baru tau, Gladys sudah mengetahui bahwa Bayu juga memiliki perasaan yang sama. Bahkan semua yang ada dipesta ulang tahunnya—gaun yang indah, bucket mawar yang banyak, serta panggung mini itu Bayu yang mengusulkan. Bayu ingin membuat Devi terkesan dengan hadiah darinya. Bayu dan Devi akan selalu menjadi pasangan kekasih yang berbahagia, bukan hanya perasaan yang sudah lama tumbuh. Namun rasa ingin memiliki dan harus mempertahankan yang membuat mereka jauh lebih kuat.

“Oh iya Dev, ada kado lain yang belom sempet gue kasih buat lo” Bayu mengambil tas nya dan mencari sebuah kotak bersegi panjang.

“apa?” Tanya Devi ketika Bayu memberikannya kotak tersebut.

“Buka aja. Semoga suka ya, dear.” Jawab Bayu, Devi membuka kotak tersebut dengan seksama. Kotak tersebut berisi sebuah kalung dengan liontin mawar berwarna merah pekat, serta ada inisial nama mereka didalamnya. BaD.

“BaD? Kok kedengerannya gak asik ya?” Ujar Devi.

“itu Unik tau. Sini biar aku yang pakein!” Jawab Bayu.

“oh ngomongnya mulai aku-kamu nih? Mau belajar romantis ya? Haha” Goda Devi.

“berisik” Pungkas Bayu lalu mencium pipi kanan Devi. Kontan gadis itu langsung tersipu.

“BAYUUUUUU!!!”


* END *



Sebelumnya gue mau ngucapin Happy Birthday buat adik tersayang gue, Devy Rahmawati. Gue tau kadonya telat, tapi mendingan telat kan daripada gak sama sekali. Hehe.

Happy Sweet Seventeen Birthday ya Dep, udah mulai dewasa dong ya? Udah punya ktp juga, hehe. Pokoknya wishnya udah pernah gue sampein lewat sms, inbox, twitter, eh lebay ya gue.

Oh iya, cerpen ini gue bikin darurat, dua hari jadi. Makanya maaf kalo alur cerita atau bahkan tulisannya gaje :p yang jelas ini gue bikin dengan sepenuh hati.

Gue Cuma bisa ngasih kado cerpen ini, selain doa. Semoga lu semakin dewasa, baik, pokoknya yang ++ ya :)


Salam Hangat.

Putri Wulandari :D

Sondag 03 November 2013

I Knew I Loved You -Chapter4-


When your gone The pieces of my heart are missing you..
When your gone The face I came to know is missing too..
When your gone The words I need to hear to always get me trough the day..
And make it OK. I miss you :’)
( When Your Gone – AvrilLavigne)


Aku berlari menuju sebuah hutan yang dipenuhi dengan kunang-kunang, danada sebuah kunang-kunang yang sangat menarik. Aku terus berlari sampai akhirnya menemukan sebuah danau berair  bersih dan tenang. Entah mengapa disana aku merasa bebanku menghilang. Tapi sosok Fero muncul ditengah danau membuatku tersentak.
“jangan hiraukan apa yang mengganggu fikiranmu, Rani. Tetaplah berjalan mengikuti alur takdir tuhan. Ingat. Apapun yang terjadi mungkin saja dia memang jodoh-mu. Dan dia lebih pantas untuk menggantikan aku. Berbahagialah, sayangku”
“FEROOO” Lagi-lagi aku bermimpi tentangnya. Mengapa disaat aku terpuruk, ia terus hadir dalam mimpiku untuk memberi tahu apa yang terjadi. dan apakah benar, Ditya orang yang pantas untukku?
“rani? Kau tidak apa-apa?” Sosok Ditya muncul setelah pintu kamarku terbuka. Sepertinya teriakanku terlalu keras.
“ya, tidak apa-apa. Hanya sebuah mimpi buruk” Jawabku, Ditya mendekat kearahku. Kenapa sedekat ini bersamanya membuatku cukup aman dan nyaman? Bagaimana bisa Ditya yang baru aku kenal hari ini bisa membuatku merasa seperti ini?
“Tidurlah, aku akan menjagamu” Tutur Ditya, ia benar-benar menjagaku. Ia duduk disampingku sambil mengusap kepalaku. Itu adalah satu kebiasaan yang dimilik Fero. Dan mungkin aku harus terbiasa dengan ini.
            Pagi ini aku terbangun dan Ditya sudah tidak ada didekatku, kemana dia? Apakah semalam aku hanya bermimpi saat ia menemaniku tertidur. Saat aku masih sibuk dengan fikiranku seseorang membuka pintu, dan tepat saat itu pula  aku melihat Ditya dengan cengiran khas fero, bahkan tatapan yang khas juga.
“good morning, Raniia. Bagaimana? Apa tidurmu nyenyak?” Tanyanya, aku mengangguk dan membenarkan posisiku.
“terimakasih kau sudah mau menjagaku semalam.” Jawabku singkat. Lelaki itu mengangguk.
“tidak masalah, jika kau membutuhkanku cukup panggil aku  saja. Ohiya, ayo kita sarapan. Setelah itu aku akan ikut denganmu mengantar melly” Paparnya. Aku memandangi sosok lelaki itu, sungguh lelaki yang menyenangkan.
“apakah ayah dan ibuku sudah pergi kekantor?” Tanyaku, Ditya mengangguk.
“sebaiknya kau cepat mandi lalu kita sarapan bersama. Melly sudah menunggu” Jawab Ditya lalu meninggalkan aku dikamar.
            Suasana bandung pagi ini cukup cerah, setelah mengantar Melly kesekolahDityamengajakkupergikesuatutempat. Ternyata dulu Ditya pernah tinggal di bandung sebelum ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah kejakarta. Aku senang, ternyata Ditya typical lelaki yang mudah bergaul. Ia bercerita tentang rasa sukanya pada pemandangan, dan ia pernah menemukan satu danau yang letaknya berada di pedalaman sebuah pohon-pohon kayu jati. Ia menemukan tempat itu bersama mendiang kekasihnya.
            Ditya mengendarai mobilku melewati hamparan kebun teh disisi kanan-kiri jalanan. Sungguh pemandangan yang sangat indah, ditambah udara dingin yang menusuk tulang. Bandung memang sangat berbeda dengan Jakarta. Dan aku sangat bersyukur karena Jessy mengajakku pindah kesini. Kini aku berusaha untuk tidak memikirkan siapa sebenarnya  Ditya, mengapa ia mirip sekali dengan almarhum Fero. Yang jelas aku akan menerimanya sebagai Ditya Nuraga, sepupu tiriku dan juga seorang teman baru dalam hidupku.
“apa kau lelah? Tidur saja dulu, perjalanan kita masih membutuhkan waktu yang cukup lama” Ujar Ditya, pandangannya masih jauh kedepan. Aku menggeleng, sebenarnya aku memang agak mengantuk tapi tidak adil rasanya jika aku membiarkan Ditya mengendarai mobil tanpa teman untuk mengobrol.
“Nanti juga kau tau, satu tempat yang sangat indah” Jawabnya misterius.
~~
            Ditya memberhentikan mobilnya disebuah area parkir. Aku mengerutkan keningku, untuk apa Ditya membawaku kesini?
“Dit, sebenarnya kau mau membawaku kemana?” Tanyaku.
“sekarang masih jam delapan, kira-kira kita akan menjemput melly jam berapa?” Tanya Ditya kembali.
“sekarang hari kamis, melly pulang jam setengah empat sore karena ada les tambahan. Kita memangnya mau kemana? Kenapa mobilnya diparkir disitu Ditya?” Tanyaku gemas.
“Cerewet. Sudah ayo ikut saja denganku” Jawab Ditya sambil mengacak rambutku, aku menggembungkan pipiku tanda kesal. Ia menggandengku tanganku, kini kami berjalan disebuah jalan setapak yang ada dihamparan pohon pohon yang menjulang tinggi. Pertanyaanku belum dijawab oleh Ditya, ia memang typical lelaki yang mungkin susah ditebak. Lelaki ini menuntunku dengan lembut, tunggu dulu sepertinya aku pernah melewati hutan ini, tapi kapan? Dejavu itu kini hadir, pohon-pohon ini sangat familiar dalam ingatanku. Apa kah artinya ini?
“kau lelah?” Tanya Ditya, ia menghentikan langkahnya.
“uhm, lumayan. Memangnya seberapa lama lagi kita akan berjalan?” Tanyaku kembali.
“mungkin sekitar sepuluh menit lagi. Kalau kau lelah bilang saja, biar aku menggendongmu” Ujarnya sambil tersenyum. Menggendongku? Dia pasti bercanda. Aku ini kan bukan anak kecil.
“kau meledekku ya? Aku ini perempuan yang kuat tau” Tuturku, Ditya terkekeh. Kami melanjutkan perjalanan ini.
“yang ku dengar dari tante Tiwi kau sempat tinggal dijakarta? Kenapa kau pindah kesini?” Tanya Ditya, kami masih berjalan melewati jalan setapak dihutan.
“Ya, ada sesuatu yang membuatku memutuskan pindah ke bandung. Sesuatu yang cukup menyedihkan mungkin” Jawabku. ditya berhenti berjalan, dia menatapku. Entah mengapa tatapannya itu seperti orang yang sedang membaca isi hatiku.
“Oh begitu” Komentarnya lalu kembali berjalan.
            Cukup lama kami berjalan akhirnya Ditya berhenti disebuah halaman luas, halaman yang dipenuhi oleh bunga-bunga yang tumbuh subur, dan yang paling mencengangkan adalah saat aku melihat sebuah danau dengan air yang sangat jernih dan juga tenang. Aku terpaku dalam lamunanku sesaat, sampai genggaman tangan Ditya menyadarkanku.
“Kau baik-baik saja, Rania?” Tanya Ditya. Aku mengangguk, hembusan nafasku kini sudah berangsur pulih. Saat pertama melihat danau itu aku merasa tercekat, nafasku memburu.
“Ditya, darimana kau tau tempat ini?” Tanyaku pelan. Aku benar-benar tidak mengerti, danau ini sangat mirip dengan danau yang muncul dimimpiku semalam.
“kau lupa ceritaku tadi ya? Ini lah danau yang aku maksud, Rani” Jawabnya sambil tersenyum. Aku baru sadar ada yang berbeda dari senyuman ditya dengan Fero. Ditya mempunyai tiga guratan saat ia tersenyum.
“tidak mungkin” Gumamku.
“apa kau bilang? Kau tidak suka dengan pemandangan ini?” Tanya dita hati-hati. Kini tangan ditya menggenggam tanganku erat.
“bu..bukan begitu. Aku suka sekali, dijakarta mana ada pemandangan seperti ini” Jawabku kalap. Ditya tersenyum, ia mengajakku duduk dipiinggiran danau. Sesekali ia memainkan air, aku tertawa kecil melihat ditya yang seperti itu. Sungguh, wajahnya sangat menggemaskan.
“kau tau tidak? Pada malam hari didanau ini banyak sekali kunang-kunangnya. Jika kita bisa menangkapnya kemungkinan apa yang kita inginkan akan terkabul” Tutur Ditya.
“termasuk meminta seseorang yang sudah tidak ada kembali lagi didunia?” Gumamku pelan, aku sama sekali tidak berniat mengatakan ini pada Ditya. Tapi, lelaki itu menghentikan aktifitasnya dan menatapku hangat.
“Kita ini hidup Cuma sekali rani, Jika tuhan mengabulkan permintaan seperti itu aku juga ingin meminta Tara kembali lagi disini. Bersamaku. Tapi itu semua tidak akan mungkin. Sekeras apapun kita meminta, sesering apapun kita berdoa, mereka yang sudah meninggal tidak akan kembali lagi.” Aku terhenyak mendengar kata-kata Ditya. Siapa Tara? Apa ia juga kehilangan kekasihnya?
“siapa Tara?” Tanyaku. Ditya tersenyum pedih, tapi ia tetap bersikap tenang.
“Kekasihku. Dia meninggal ditempat saat kami kecelakaan. Sebuah mobil menabrak mobil yang kami kendarai, aku terpental keluar sementara Tara terjebak didalam mobil, sampai akhirnya mobil itu terbakar. Yang aku tau mobil yang menabrak kami pun meninggal dunia setelah beberapa minggu koma. Aku tau disini tidak ada yang bisa disalahkan, lelaki itu mengendarai mobilnya dengan cepat sementara saat itu aku dan Tara sedang bertengkar. Aku yang memegang kemudi pun tidak bisa berbuat apa-apa. Semua terjadi begitu cepat. Aku tau, dimana pun Tara berada sekarang, aku akan berusaha untuk membuat ia bahagia” Jawab Ditya, aku meremas jemarinya berusaha menguatkannya.
“bagaimana bisa kau tau dia bahagia disana, Ditya?” Tanyaku polos.

“mengikhlaskannya, mengirimkan doa untuknya, dan juga menjalani kehidupan yang baru. Bukan maksudku mengkhianati cinta kami, tapi aku hanya berusaha menjalankan yang terbaik untuk diriku.” Jawab Ditya. Aku mengangguk mengerti. Apakah aku bisa menjadi setegar ditya?

Sondag 27 Oktober 2013

I Knew I Loved You -Chapter3-

I always needed time on my own..
I never thought I’d need there when I cry..
When you walk away I count the steps that you take..
Do you see how much I need you right now?
( When Your Gone – Avril Lavigne)
***
            Sudah lewat dari setengah tahun aku, Jessy dan Daniel tinggal dirumah Ibu. Sosok ayah baru dalam keluarga ini lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Ia menerima aku dan juga Jessy sebagai anaknya sendiri. Bahkan dengan adanya Melly aku jadi lebih bersemangat. Aku tidak melupakan fero sepenuhnya, hanya saja sedikit tidak memikirkannya. Seperti halnya saat kami belum bertemu.
“Ibu? Kau mau kemana? Kenapa rapih sekali?” Tanyaku, kulihat ibu sudah berdandan rapih bersama ayah disebelahnya.
“ibu dan ayah mau menjemput keponakan ayahmu. Dia baru saja sembuh dari komanya dan ingin tinggal disini” Jawab Ibu. Aku meletakan majalah yang sedang kubaca.
“oh ya? Siapa dia?” Tanyaku.
“nanti juga kau akan tau, syg. Kalau begitu ayah dan ibu pamit dulu. Nanti kau jangan lupa menjemput Melly ya” Ucap Ayah, aku mengangguk. Kini ayah memfasilitasi aku sebuah mobil, Honda jazz berwarna pink metalik. Itu karena aku bertugas mengantar jemput Melly, sementara Jessy dan Daniel sedang mengurus beberapa keperluan dijakarta. Dan tinggallah aku sendiri. Aku bersyukur, kepindahanku kesini membuatku bisa menata kembali hidupku. Yah, seperti yang Jessy bilang, kehilangan sosok penopang hidup bukan akhir dari segalanya. Kini aku cukup mengingat nama Fero, mungkin mengukirnya didalam hati saja. Dan semoga saja kau berbahagia disana. Jam sudah menunjukan pukul sebelas siang, dan seperti biasa aku harus sudah bersiap untuk menjemput Melly disekolahnya. Anak kecil itu juga mengambil banyak andil dalam perubahan sikapku. Setiap aku merasa sedih, ia selalu mengajakku bermain. Melly pun mempunyai paras cantik, sebenarnya ia lebih mirip denganku dan jessy. Karena pada dasarnya melly mirip sekali dengan ibu. Mempunyai rambut ikal berwarna coklat gelap, dan mata yang sama. Aku sendiri yang mempunyai mata berwarna coklat lebih sering memakai softlens berwarna biru.
            Baru sekitar lima belas menit aku sampai disekolah Melly, anak itu sudah berlari sambil melambaikan tangan kearahku.
“Kak Raniiiii, aku kira kau tidak akan menjemputku” Ujar si kecil, aku berlutut agar terlihat sejajar dengan anak ini.
“lalu kalau aku tidak menjemputmu, siapa yang akan menjemputmu? Memangnya kau berani jika pulang sendiri?” Sindirku, anak ini tertawa kecil.
“apakah kak Ditya sudah datang, Rani?” Tanya Melly lagi, Ditya? Siapa dia?
“Aku tidak mengenal Ditya, siapa dia?” Tanyaku kembali, kini aku sedang menggendong melly menaiki mobil.
“dia sepupu kita, Raniiii. Orangnya tampan dan baik sekali. Dia sering membelikan aku ice cream” Jawab Melly.
“mana yang lebih baik? Aku atau Ditya?” Tanyaku menggoda.
“kalian sama baiknya. Siapa tau kalian berjodoh” ucapnya senang, anak ini sudah seperti orang dewasa saja.
            Sebelum pulang Melly memintaku untuk berhenti di pinggir jalan. Ia memintaku membelikannya ice cream dan juga beberapa kue untuk ia makan nanti sesampainya dirumah. Jujur saja aku merasa penasaran dengan sosok Ditya.
            Sesampainya dirumah ternyata ibu dan juga ayah belum pulang, rasa kecewa sedikit ada dalam hatiku. Ditambah kini Melly malah sibuk bermain dengan bik ijah. Baiklah, mungkin lebih baik aku tidur siang saja. Jessy mengabari ia baru akan pulang seminggu lagi. Tidak ada Jessy membuatku sedikit kesepian. Kakakku yang satu itu memang sering menyebalkan, tapi tak jarang aku merindukannya saat ia pergi.
~~
            Jam makan malam sudah tiba, ibu dan ayah pun sepertinya sudah pulang. Tapi karena terlalu lelah maka aku putuskan untuk tidur sampai bik ijah mengetuk pintu untuk menyuruhku makan malam. Aku mengangguk dan meminta sedikit waktu untuk mandi dan bersiap-siap.
Selesai mandi dan berganti pakaian aku segera turun, ada ayah, ibu dan juga Melly. Dimana sosok Ditya? Bukankah seharusnya ia ada disini, makan malam bersama kami?
“Rani, kenapa kau terdiam disitu? Kemarilah sayang” Ujar Ibu, aku mengangguk.
“bukankah ayah dan ibu bilang akan menjemput seseorang? Dimana dia bu?” Tanyaku, ibu mengulum senyum.
“Kak Rani sudah tidak tahan mau berkenalan dengan Kak Ditya ya?” Goda Melly, aku tersipu malu.
“Ditya sepertinya masih beristirahat, maklum saja. Semenjak kecelakaan ia menjadi pemurung. Ditambah orang yang bertabrakan dengannya malah meninggal” Jawab Ibu. Jadi Ditya juga korban kecelakaan?
“mungkin besok kau akan berkenalan dengannya Rani. Sekarang nikmatilah makan malammu” Tutur Ayah, aku mengangguk.
            Selesai Makan malam aku naik kembali kekamarku. Ku lihat seseorang sedang duduk dibalkon lantai atas. Apakah dia yang bernama Ditya? Dengan menggenggam gelas berisi air mineral aku menghampirinya.
“hey” Sapaku, lelaki itu menoleh kearahku. Untuk beberapa saat aku terpaku. Melihat lelaki itu memandangku, kenapa tatapan matanya begitu mirip dengan fero? Kenapa raut wajah dan juga senyumannya mirip dengan fero?
“Hey juga” Balasnya sambil tersenyum. Ya tuhan, senyuman dan mata itu benar-benar mirip dengan Fero.
“ka..kau yang bernama Ditya?” Tanyaku memberanikan diri. Kini hatiku serasa mencelos, aku merasa mata itu benar-benar milik Fero.
“ya, kau pasti Rania anak tante Tiwi? Benarkan?” Tanyanya. Dan aku bersumpah, caranya berbicara pun sangat mirip dengan Fero.
“ya.. kau benar. Aku Rania, Rania Natasya” Jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Ditya Nuraga, kau bisa memanggilku Ditya. Senang berkenalan denganmu” Balasnya. Aku tersenyum.
- Ditya’s POV-
            Melihat gadis ini, kenapa hatiku begitu bergetar. Tidak pernah kurasakan getaran yang benar-benar hebat seperti ini. apa ini karena hati yang aku gunakan bukanlah hatiku? Saat aku kecelakaan beberapa bulan yang lalu aku mendapatkan kerusakan di bagian mata dan juga hati. Semua rusak. Dan ternyata yang menabrakku meninggal setelah beberapa hari dirawat. Pihak keluarganya memberi izin untuk mendonorkan kornea mata dan juga hatinya. Itu sebagai rasa penyesalan. Apalagi saat gadis didepanku ini menyebutkan namanya, kenapa hati ini merasa terenyuh sekali? Apa yang terjadi sebenarnya?
“Ditya? Kenapa kau melamun seperti itu?” Tanya Rani, aku menggeleng cepat.
“tidak apa-apa. Hanya saja melihatmu membuatku sedikit—ah lupakan” Ujarku.
“sebaiknya kau beristirahat. Ibuku bilang kau baru saja sembuh kan? Udara malam juga tidak begitu baik untuk tubuh.” Nasihatnya, aku mengangguk dan meninggalkannya yang juga mau masuk kamar.
-back to Rania’s POV-
            Benar saja, sosoknya semakin mirip dengan Fero. Kenapa disaat aku sudah sedikit melupakan bagaimana sakitnya kehilangan sosok yang begitu mirip dengan Fero hadir disini. Tepat dikehidupanku. Apakah ini rencanamu tuhan? Aku kembali mengingat dimana Fero dengan beraninya mengajakku berteman, padahal sebelumnya kami tidak saling mengenal. Ia selalu membuatku merasa sebal dengan tingkahnya. Bahkan dulu aku selalu berfikir aku tidak akan pernah membutuhkannya. Tapi kenyataannya kini aku benar-benar membutuhkannya. Bukan hanya untuk berbagi kesedihan, tetapi juga berbagi kebahagiaan. Dan kini aku kembali terpuruk, usaha ku untuk bangkit beberapa bulan terakhir kandas hanya karena hadirnya sosok lelaki yang benar-benar membuatku teringat kembali pada Fero.
            Aku benar-benar terpuruk kembali, mengingat kembali kenangan dimana aku selalu butuh waktu sendirian. Aku selalu bertingkah seolah aku orang yang paling kesepian, dan saat itu pula Fero hadir menawarkan sejuta warna kebahagiaan, awalnya aku mengira ia hanya akan mempermainkanku, menyakitiku, dan sama sekali tidak serius denganku. Tapi? Berkali-kali aku menolak, ia tetap bertahan. Bertahan sampai tiang pendirianku hancur tidak tersisa. Dan kini aku kembali terhempas saat mengetahui kenyataan kalau fero kekasih yang paling aku cintai kini hanya tinggal nama. Fero, apa kau tau aku membutuhkanmu sekarang.

~~~

Maandag 21 Oktober 2013

I Knew I Loved You -Chapter2-

I didn’t get around..
To kiss you goodbye on the hand..
I wish that I could see you again..
I know that I can’t..
I hope you can hear me..
Cause I remember it clearly..
( I miss you – Avril Lavigne)

            Aku lagi-lagi menangis, menyesali saat kepergian Fero aku tidak berada didekatnya. aku menyesali kebodohanku untuk ikut pergi bersama teman lamaku. Aku menyesali kenapa aku tidak bisa berada disisi Fero saat terakhir ia menghembuskan nafasnya. Andai saja aku bisa bertemu dengannya lagi, aku hanya ingin bilang kalau aku sangat mencintainya. Lebih dari apapun didunia ini. aku hanya ingin ia tau, kalau aku mencintainya dengan sangat tulus. Dan kini jika kau bisa mendengarku Fero, aku ingin bilang aku mencintaimu. Dan kini, aku beranikan diri untuk kembali melangkah, menatap masa depanku yang dulu pernah kita rancang sama-sama. Menatap indahnya dunia tanpamu, menyongsong hari-hari cerah juga tanpamu. Dan jika kau bisa dengar, aku melakukan ini semua hanya demi kau. Demi cintaku padamu, Fero Alvino.
“Rania, apa kau sudah siap?” Tanya jessy sambil mengetuk pintu kamarku. Aku memasukan sebuah kotak berukuran sedang untuk menyimpan semua barang-barang yang pernah Fero berikan. Bukannya aku belum bisa melupakannya, tentu saja aku tidak akan pernah melupakannya. Hanya saja, aku tidak ingin membuang barang yang pernah menjadi saksi bisu cinta kami berdua.
“tentu, aku sudah siap” Tuturku, aku membawa tiga buah koper besar dan satu koper mini. Memang, barang-barangku sangat banyak sekali. Dan karena aku akan terus tinggal disana maka aku memutuskan untuk membawanya.
“Ayo, Daniel sudah menunggu kita di mobilnya.” Ujar Jessy. Rumah ibu terletak dikota Bandung. Yah, memang tidak terlalu jauh dengan Jakarta. Tapi menurutku suasana bandung bisa membantuku untuk menata kembali semuanya dari awal.
“apa semua barang-barangmu tidak ada yang tertinggal?” Tanya Daniel setibanya kami dibawah.
“Sepertinya tidak ada, semua barang-barangku sudah aku bawa.” Jawabku sambil memasuki barang-barang kedalam bagasi. Dan setelah semua siap Daniel mengendarai mobilnya dengan baik. Aku duduk dibelakang, sementara Jessy menemani Daniel di depan. Aku terus menatap ponselku. Kembali membaca pesan singkat yang Fero kirim sebelum ia meninggal. Kata-kata yang manis dan sangat membuatku melayang itu hanya sebuah kenangan. Dan kini, aku tidak akan mendapatkan pesan darinya lagi. Tidak akan pernah.
            Perjalanan yang cukup panjang akhirnya selesai sudah, Daniel memarkirkan mobilnya digarasi rumah yang cukup mewah. Rumah yang dicat soft cream, dan juga halaman depan yang dipenuhi oleh banyak tanaman hias. Sungguh rumah yang nyaman. Aku dan Jessy berjalan kearah pintu utama. Jessy menekan bel beberapa kali, dan kini seorang wanita paruh baya keluar dengan gayanya yang anggun. Benarkah itu sosok ibu? Ibu yang sudah lama tidak kulihat.
“Jessy, Raniia, kalian akhirnya sampai juga! Ibu sudah menunggu lama” Tutur ibu, ia memeluk kami bergantian. Tak lama sosok Daniel yang baru saja menghampiri kami juga dipeluknya. Jujur saja, aku merasa rishi saat pertama kali dipeluk oleh ibu. Entah karena aku terlalu lama diabaikan olehnya atau memang begini rasanya dipeluk oleh ibu kandungku?
“yah, jalanan cukup macet mala mini bu. Dimana ayah?” Tanya Jessy, apa yang ia maksud adalah ayah baru kami? Tanyaku dalam hati.
“oh iya, ayo kita masuk. Biarkan bik ijah yang menurunkan barang-barang kalian.” Jawab Ibu, aku mengekori mereka. Dan kini aku melihat seorang lelaki yang tampak lebih tua dari ibu sedang bermain dengan gadis kecil, sepertinya ia akan menjadi adikku.
“yah, kenalkan. Ini anak-anakku, mereka akan tinggal bersama kita. Kau tidak keberatan bukan?” Tanya ibu, pria itu berdiri dihadapan kami sambil menggendong anak kecil itu. Ia tersenyum dan menyalami kami satu persatu.
“tentu saja tidak, bu. Dengan adanya mereka Melly tidak akan kesepian lagi bukan” Jawabnya sambil tersenyum.
“nah, sebaiknya kalian langsung beristirahat. Ibu tau, kalian pasti sangat lelah” Suruhnya, kami mengangguk. Daniel dan Jessy diantar oleh bik ijah menuju kamarnya. Sementara ibu mengantarku sampai kekamar.
“Ranii, Ibu sudah dengar berita kematian kekasihmu. Ibu turut berduka cita syg. Maaf jika ibu tidak berada disisimu saat itu” Ujar Ibu prihatin. Aku mengulum senyum miris.
“tidak apa-apa bu, itu semua sudah terlampau jauh. Dan aku pindah kesini hanya untuk menata kembali kehidupanku yang sudah hancur. Aku harap kau mau membantuku” Jawabku.
“tentu saja sayang, kapanpun kau membutuhkanku kau bisa memanggilku. Sekarang lebih baik kau tidur” Ujarnya sambil mencium puncak kepalaku. Aku mengangguk.
“sweet dream, sweety” Tukasnya.

~
I’ve had my weak up Won’t you wake up..
I keep asking why And I can’t take it..
It wasn’t fake it It happened you passed by..
Now your gone Now your gone..
There you go There you go..
Somewhere I can’t bring you back..

“Mengapa kau mau memilihku untuk menjadi kekasihmu?” Tanya Fero, ia menatapku hangat. Aku membalas tatapannya.
“karena hanya kau yang bisa meluluhkan hatiku, hanya kau lelaki yang tulus mencintaiku, dan hanya kau pula yang mau menerima kehancuran keluargaku.” Jawabku sambil tersenyum manis.
“ku kira kau mau menerimaku karena kau mencintaiku” Tandasnya, ia tersenyum masam.
“semua hal itu membuatku jatuh cinta padamu, bukankah kau sudah tau kalau aku mencintaimu” Balasku, kini Fero merubah posisinya menjadi duduk. Aku pun ikut dan menyandarkan kepalaku tepat dibahunya.
“aku sangat mencintaimu Rania Natasya. Sangat!” Ujarnya.
“aku pun begitu, dan entahlah mungkin jika kau tidak ada disini hidupku tidak akan pernah berjalan dengan indah” Kataku, Fero mendaratkan ciuman mesra pada bibirku. Namun detik itu juga sosok Fero menghilang. Ku lihat ia kini sudah berada diujung jalan, semakin lama semakin menghilang..
“FEROOO!!!” Aku terbangun kembali dari tidurku, mimpi itu lagi. Kenapa Fero? Kenapa kau masih setia mendatangi mimpiku? Kenapa kau tidak membiarkanku untuk menjalani kehidupan baru. Mimpi tentangmu hanya membuatku semakin tidak berdaya. Air mataku kembali menetes. Aku benci disaat seperti ini.
“Ranii, kau baik-baik saja?” sosok ibu kini muncul dibalik pintu dan mendekatiku.
“tidak, hanya mimpi buruk saja bu” Jawabku, ibu mengambilkan ku segelas air mineral dan memelukku.
“kau bermimpi tentang dia lagi?” Tanya Ibu, aku mengangguk kecil.
“lebih baik kau teruskan tidurmu. Besok kau akan ibu ajak mengantar melly kesekolahnya.” Ujar Ibu, ia menyelimutkan aku lagi. Namun sebelum ibu pergi aku menahan tangannya.
“ada apa sayang?” Tanya Ibu.
“maukah ibu menemaniku tidur untuk malam ini?” Tanyaku kembali.
“baiklah, jika itu bisa membuatmu lebih tenang, anakku” Jawabnya. Aku tersenyum.

            Tidur bersama Ibu semalam membuatku cukup tenang. Setidaknya mimpi itu tidak datang lagi. Aku benar-benar berterimakasih ibu mau menemaniku semalam. Yah, pagi ini aku pergi kehalaman belakang. Membawa kotak yang berisi tentang kenangan ku bersama fero. Aku sudah meminjam sebuah sendok semen untuk menggali tanah dibelakang. Dan saat aku mengira itu sudah cukup dalam, saatnya aku meletakan itu semua. Maaf Fero, sepertinya memang harus aku lakukan. Aku tidak ingin kau selalu hidup dalam bayang-bayangku. Kau sendiri yang menyuruhku untuk tetap menata hidupku. Dan kini aku berusaha bangkit dari keterpurukan itu. Semoga kali ini aku tidak menemukan kesulitan.
“Rani, apa yang kau lakukan? Ibu memanggilmu” Suara Melly terdengar dari arah belakang, kini ia sudah siap dengan seragam sekolah dasarnya. Aku tersenyum dan menghampiri anak itu.
“aku tidak melakukan apapun Melly” Jawabku, setelah membersihkan tangan dan mengembalikan sendok semen itu aku mengajak Melly kemeja makan.
“lalu apa yang kau lakukan dengan benda tadi?” Tanyanya lagi.
“mengubur sesuatu yang sudah tidak terpakai. Nah, sekarang ayo cepat kita sarapan” Jawabku.

Donderdag 17 Oktober 2013

I Knew I Loved You -Chapter 1-


-Chapter1-

I miss you..
Miss you so bad..
I don’t forget you..
Oh it’s so sad..
** 
            Aku menatap nanar kearah gundukan tanah yang masih basah, dimakam itu tertulis jelas namanya. Fero Alvino, sosok lelaki yang paling aku cintai kini sudah menyatu dengan tanah. Aku tidak akan bisa lagi merasakan pelukan hangatnya, merasakan lembut suaranya saat memanggilku. Kenapa tuhan, kenapa kau begitu cepat memanggil dia dari sisiku? Kenapa bukan orang lain?
“Rani, mau sampai kapan kau disini? Ayo kita pulang, sebentar lagi akan turun hujan” sebuah suara memanggilku dengan nada lirih. Dia jessy, kakak-ku satu-satunya. Ia yang membawaku ke makam fero. Ia juga yang memberitahukan kabar buruk ini padaku.
“Aku ingin menemani Fero disini. Kau pulang saja duluan!” Jawabku singkat. Aku masih tetap berdiam dimakam kekasihku, dimakam yang masih basah ini. fero, sebentar lagi hujan akan turun. Apa kah kau tidak kedinginan berada dibawah sana? Air mataku kembali menetes. Aku ingin tuhan mengabulkan doaku.
“Fero sudah tenang dialamnya Ra, Ayo cepat kita pergi. Daniel sudah menunggu kita didalam mobil” Ujarnya lagi, aku tetap tidak bergeming. Daniel adalah suami kakak-ku, semenjak Jessy menikah dengannya hanya Fero yang aku punya. Ayah dan ibuku sudah lama bercerai dan kini kami tidak tau dimana mereka berada. Sungguh menyedihkan bukan?
“tidak, aku tidak mau meninggalkan dia sendirian. Bagaimana jika ia kedinginan jessy. Tidakkah didalam sangat menakutkan?” Tuturku sendu, aku benar-benar belum siap kehilangan satu penopang hidupku. Jessy ikut berlutut menjajari posisiku.
“Rania, tidakkah kau kasihan jika Fero ikut sedih melihat kau yang terus-terusan seperti ini? tuhan telah menyediakan tempat terindah untuknya. Seharusnya kau mengirimkan doa, bukan terus-terusan menangisi kepergiannya!” Ujar Jessy, bahkan kini ia ikut menangis. aku terkulai lemah dipelukannya. Benarkah Fero hanya akan sedih melihat aku seperti ini?
*
I hope you can hear me..
I remember it clearly..

            Sudah hampir satu bulan dari kepergian Fero, aku masih teringat dengan jelas sehari sebelum kepergiannya ia masih menemaniku disini. Kamar ini menjadi satu saksi ketulusan cinta kami. Ia memperlakukanku seperti akulah satu-satunya gadis didunia ini. namun kini Fero pergi, ia benar-benar pergi untuk selamanya. Bukan hanya untuk sementara.
            Dan kini bagaimana caranya aku bisa menjalani kehidupanku, jika semua tempat yang sering aku kunjungi adalah tempat dimana kami berdua? Bagaimana caranya aku menghilangkan ingatanku tentang kenangan kami? Aku benar-benar belum sanggup. Aku menyentuh figura yang terpampang rapih dikamarku, figura berisi foto kami berdua seminggu sebelum tragedi itu terjadi.
“Rani, berjanjilah kalau aku tidak berada disampingmu lagi kau akan menjaga dirimu sendiri. Dan jangan biarkan kepergianku membuat kau terpuruk. Apapun yang terjadi, kau harus ingat perjalananmu masih terlalu panjang. Berbahagialah.” Aku ingat sekali saat kami menghabiskan malam untuk melihat bintang Fero berkata seperti itu. Kata kata yang aku sendiri belum mengerti apa maksudnya saat itu. Jujur aku sangat mengutuk kejadian yang menimpa Fero. Bagaimana tidak, kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Dan sialnya lelaki yang mobilnya bertabrakan dengan Fero masih kritis.
“Rania, lusa kita akan pindah. Ku harap kau bisa menerima keputusanku dengan Daniel” Ujar Jessy, ia berjalan kearahku.
“kemana? Dan mengapa kita harus pindah?” Tanyaku, Jessy mengusap kepalaku. Selain seorang kakak, ia juga sudah kuanggap seperti sosok ibu. Ia sangat menyayangiku.
“ibu meminta kita untuk tinggal bersamanya. Kemarin ia menelfonku, dan kebetulan Daniel juga dipindah tugaskan dari pekerjaan lamanya” Jawab Jessy. Dia bilang ibu menyuruh kita tinggal bersamanya? Bagaimana bisa Jessy menerima tawaran ibu? Sedangkan kurang dari lima tahun ia menelantarkan kami?
“Ibu? Bagaimana bisa kau menerimanya Jessy? Apa kau sudah tidak sanggup mengurusku? Apa aku hanya menambah beban bagimu?” Tanyaku, air mataku kini mengalir lagi. Jessy memelukku hangat. Kurasakan getaran dibibirnya juga menahan isak tangis. Jessy dan Daniel juga sama sepertiku, merasa sangat kehilangan sosok Fero. Apalagi yang ia tahu hanya Fero yang bisa meluluhkan kerasnya hati dan pendirianku.
“setelah kehilangan fero bukankah kau membutuhkan sosok ibu? Jujur saja aku belum cukup mengerti tentang segala keluh kesahmu sayang. bukan berarti kau terlalu menjadi beban untukku. Namun, ku kira kau lebih membutuhkan sosok ibu. Lagipula aku dan Daniel akan ikut denganmu. Kita bisa bersama dengan ibu lagi” Jawabnya, ia masih memelukku dengan erat.
“aku tidak mengerti kenapa ibu mau menawarkan diri, setelah sekian lama ia pergi entah kemana. Ku kira ia sudah tidak perduli lagi dengan kita” Tandasku. Jessy tersenyum simpul.
“bagaimanapun, ia tetap ibu kandung kita. Dan kau tidak boleh bersikap seperti itu lagi. Berjanjilah kau tidak akan terus seperti ini. aku hanya tidak mau kau terus terpuruk dengan kepergian fero. Aku ingin kau kembali menjadi Rania Natasya yang ceria seperti dulu.” Tutur Jessy. Aku mengangguk pelan, aku sendiri masih tidak yakin apakah aku bisa kembali berdiri kokoh seperti saat ia masih disisiku?
**
The day, you slipped away..
Was the day, I found it won’t be same..

“kau tau kan? Kalau aku sangat mencintaimu.. Maka aku memohon dengan sangat padamu. Aku mohon teruslah berdiri dengan tegak, berjalan ikuti arah. Terus nikmatilah kebahagiaanmu. Jangan biarkan aku sedih melihatmu seperti itu Ranii.. Tolong bahagialah tanpaku disisimu”
Aku tersentak, keringat dingin kembali membasahi kening, dan juga tubuhku. Ini untuk kesekian kalinya Fero mendatangi mimpiku, aku kembali mengambil sebuah album foto yang kusimpan dibawah bantal. Album foto dimana kami berdua mengabadikan segala hal yang kami lakukan berdua. Aku teringat setiap harinya fero selalu bilang kalau ia mencintaiku. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu, dan kini aku harus sadar kalau hal itu tidak akan terulang lagi. Air mataku kembali menetes, jika bisa aku ingin menyusul Fero. Bagaimana aku akan bahagia jika aku terus mengingat banyaknya kenangan kami. Bantu aku berdiri seperti dulu lagi Fero. Aku mohon.
“Bagaimana? Apa kau sudah menyiapkan barang-barangmu?” Tanya Daniel, pagi ini aku sudah mulai untuk sarapan bersama. Apa kau tau Fero, melangkahkan kaki menuju meja makan adalah hal tersulit yang aku rasakan. Setiap pagi, kau selalu menyediakan sarapan untukku, Jessy dan juga Daniel. Kami memang sudah tinggal bersama, dan sebenarnya seminggu yang lalu adalah hari dimana kami akan bertunangan. Bagaimana bisa acara it uterus dijalankan jika kau sudah tiada Fero. Ku lihat bangku disebelahku kini kosong, tidak ada lagi sosok Fero yang menggodaku saat sarapan, tidak ada lagi ciuman hangat dikeningku saat ia ingin pergi bersama Daniel menuju kantor. Kami sudah seperti suami-istri bukan? Itulah hal yang membuatku sangat merasa kehilangannya.
“Ya, Daniel. Kau tidak perlu khawatir, aku sudah packing semalam. Memangnya kapan kita akan pindah kerumah ibu?” Tanyaku. Mungkin, alasan  lain kenapa Jessy mengiyakan permintaan ibu adalah kondisi mentalku. Anak gadis yang sedang rapuh sepertiku memang sudah selayaknya tinggal bersama ibu. Dan, suasana dijakarta membuatku sudah bosan. Mungkin dengan pindah dari kota ini aku bisa menata kembali kehidupanku, semoga saja.
“sepertinya nanti malam. Kita akan pindah, aku sudah mempersiapkan semuanya. Kau dan Jessy hanya terima beres saja” Tutur Daniel, aku memaksakan sebuah senyum tipis. Jujur saja, pindah membuatku berat namun memaksa tinggal disini juga membuatku tidak bisa bertahan.
“Ranii, semoga dengan kepindahan ini, kau bisa menata kembali kehidupanmu. Yang perlu kau tau, kehilangan sosok penopang hidup bukan berarti kau juga harus terpuruk. Justru itu sebuah ujian kesabaran untuk meninggkatkan kedewasaanmu.” Tutur Jessy, aku mengangguk dan tersenyum penuh haru.

***