Woensdag 19 Junie 2013

- ONLY LOVE -

  "Eh curut, cepetan napa keburu ketauan noh sama yang punya,"teriak Ikmal.
"Ett dah,dasat kunyuk ! susah nih ambilnya,enak banget ya main suruh. Sini kalo berani loe panjat nih pohon,"protes Mita dari atas pohon mangga.
"Curutt...loe tau sendiri kan kalo gue phobia sama ketinggian !"protes Ikmal balik.
"Ah banyak bacot deh,tinggal makan doang. Nih tangkep !"Mita melempar mangga dari atas pohon.
"Eh,eh,....gue ga bisa turun nih,"Mita terlihat panik.
"Tau ah,gue ga mau tanggung pokoknya,"ucap Ikmal dengan cuek.
"Wah,wah....bagus banget ! Sekalian aja loe ngacir kabur sana !"sindir Mita.
"Hlah,emang gue mau kabur kok,"Ikmal pun lari meninggalkan Mita yang masih nangkring di atas pohon mangga.
"Dasar kunyuk kampret !! mangga gue dibawa kabur, Mama !!! Mita ga bisa turun,"rengek Mita dari atas pohon.


                *Itulah sepenggal kisah Mita dan Ikmal semasa kecil,tepatnya 10 tahun yang lalu*



Kita mulai ceitanya :)

                                         "Kenapa Mit?"tanya Ikmal emosi.
"Kenapa apanya? tanya tuh yang jelas,langsung to the point !"sembur Mita.
"Curut....! kenapa loe ga nolak waktu orang tua kita jodohin kita?"
"Eh,kunyuk seenaknya loe maen salahin gue ! sekarang gue tanya,kenapa loe juga nurut gitu aja?"Mita balik nanya.
"Ya.....gue cuma ga mau bikin orangtua gue kecewa,"elak Ikmal mencoba menutupi perasaannya terhadap Mita.
"Ya udah,gue juga ga mau bikin kecewa Mama. Loe tau sendiri kan dia ngebet banget nyuruh gue cepet-cepet nikah,"timpal Mita mencari alibi yang tepat.


                    "Eh kalian berdua ternyata disini,"sapa Mama Ikmal.
"Iya,ada apa Tan?"tanya Mita.
"Tante sama keluarga mau pamit dulu,ini kan sudah malam apalagi besok kami sudah harus mempersiapkan semuanya,lusa kan kalian akan menilkah,"jelas Mama Ikmal.
"Secepat itu Tan?"Mita mencoba protes.
"Iya sayang,Mama kamu juga sudah menyetujuinya. Kalian kan sudah sama-sama besar,jadi tunggu apalagi?''ucap Mama Ikmal dengan nada optimis.
"Tapi Ma...."timpal Ikmal.
"Kalian kan sudah di jodohkan sejak kecil,jadi kalian tidak bisa menolaknya. Ini semua demi kebahagiaan kalian berdua,"pungkas Mama Ikmal tersenyun pasti.




            Pagi harinya,
"Ayo bangun dong sayang,masa' calon pengantin perempuan bangun siang terus. Nanti kalau kamu udah menikah dengan Ikmal apa engga malu sama mertua?"bujuk Mama Emmy kepada putri semata wayangnya itu.
"Ngapain malu sih Ma,cuek bebek aja,"lantur Mita dibalik selimutnya.
"Aduh,kamu itu kalo dibilangin susah yah,"Mama Emmy hampir menyerah.
"Mama bawel deh,"protes Mita yang kini sudah bangun.
"Oh ya,rambut kamu jangan dipotong ya. Biar besok bisa di sanggul,"pesan Mama Emmy.
"Heuhhh...."keluh Mita menghela nafas panjang.

"Mit,hari ini gue temenin loe ke salon ya?"tawar Dara tiba-tiba masuk ke kamar Mita.
"Ke salon? ngapain? kaya orang ga ada kerjaan aja,"jawab Mita dengan cueknya.
"Ya ngapain gitu creambath atau facial,yang jelas benerin tuh penampilan loe,"ujar Dara merapikan poninya yang sebenarnya tidak berantakan.
"Males gue,udah sono loe pergi sendirian aja ! sekalian loe bersihin tuh kuku loe. Item-item gitu,persis Mak Lampir !"Mita menunjuk jari-jari tangan Dara.
"Ini tuh trend mode,gaul dikit dong Mit !"protes Dara memanyunkan bibirnya.
"Tetep aja norak !"sambar Mita.



    Hari-hari yang ditunggu pun tiba.

"Mit,buruan mandi. Kalo udah selesei rambut loe dikeringin dulu abis itu loe make-up ,selesei make-up loe pake kebayak yang udah gue siapin,"ucap Dara bertubi-tubi.
"Iya,emak !"dengan pasrah Mita menurutinya.

                  "Mbak,ga usah pake bulu mata ya. Mata saya udah bagus gini kok,"pinta Mita kepada penata riasnya.
"Tapi mbak,alangkah lebih bagusnya lagi kalau memakai bulu mata,"jelas penata rias itu.
"Mimit !! pilih bulu mata atau cacing?"ancam Dara.
"Heuhhh,dikit-dikit cacing apa-apa cacing mulu. Ga ada pilihan yang laen kek !"keluh Mita.
"Mau nurut apa engga!"perintah Dara.
"Tapi kan......"rengek Mita.
"HARUS !!"Dara melotot tajam kearah Mita.
"Iya deh iya,gue pilih pake bulu mata,"Mita merasa terpojokkan yang membuatnya terpaksa menurutinya.


"Dar,tabok pipi gue,"pinta Mita.
"Plaaakkk"
"Enak ga Mit?"tanya Dara tersenyum nakal.
"Enak? sakit iya ! maksud gue pelan aja eh langsung maen hajar aja,"protes Mita mengelus-elus pipinya.
"Tapi Dar,gue beneran lagi ga mimpi kan? tinggal beberapa jam lagi gue udah mau nikah,"lanjut Mita.
"Mau nih gue tabok lagi biar loe tambah yakin?"ledek Dara di sela-sela Mita yang sedang di make-up.
"Keenakan loe,pegang-pegang pipi gue. Tapi Dar......."
"Tapi apanya lagi?"sambar Dara.
"Sampai saat ini gue ga cinta sama Ikmal,"ucap Mita dengan hati-hati.
"Tenang Mit,cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu kok,"Dara meyakinkan Mita.
"Iya,tapi gue deg-degan !"Mita meraih tangan Dara dan menaruh di dadanya.
"Loe ga usah grogi gini, apalagi loe cantik banget kayak gini,"Dara mencoba menenangkan Mita.
"Tapi Dar,gue engga yakin. Apa nantinya gue bisa hidup bahagia sama Ikmal?"Mita memasang wajah pesimisnya.
"Udah dong Mit,kenapa jadi rewel banget sih? dari tadi ngedumel mulu !"protes Dara hampir kehilangan kesabarannya.
"Tau gitu,tadi pagi-pagi gue kabur manjat jendela,"Mita sedikit kecewa dengan ucapan Dara barusan.
"Ga salah denger gue? boro-boro mau kabur pagi-pagi,bangun kalo engga dibangunin sampe kiamat juga engga bakal bangun,"balas Dara dengan nada sindiran.
"LOE !"Mita menunjuk Dara penuh emosi.
"Ih seyem,atuttt....ampun Nyonya Ikmal,"ledek Dara tertawa puas.


"Udah siap sayang?"tanya Mama Emmy mendekati Mita.
"Engga sangka,putri Mama yang dulunya ganteng sekarang jadi cantik kayak gini. Mama kaya mimpi Mit,"lanjut Mama Emmy.
"Mama engga lagi mimpi kok,kan udah dari oroknya Mita udah cantik Mah,"Mita membanggakan dirinya.
"Tapi cukup sekali Mita dandan kayak gini,lain kali engga lagi-lagi deh,"celetuk Mita.
"Apa Mit?"sahut Mama Emmy
"Eh engga kok Mah,"elak Mita.
"Ya sudah,behubung kamu udah siap. Ayo kita turun,Ikmal udah nunggu kamu tuh,"ajak Mama Emmy.
Mita pun berjalan menuruni tangga dengan didampingi Dara dan Mama Emmy. Mita terlihat anggun dengan kebayak yang dipadu padankan dengan payat yang terlihat sangat selaras.
Sedangkan Ikmal pun terpana melihat kecantikan Mita.
"Sumpah Mit,loe cantik banget. Berasa ada bidadari yang turun dari langit ke-10. Loe udah berhasil bikin gue klepek-klepek,"bisik Ikmal saat Mita duduk di sampingnya.

Mita hanya tersenyum dengan pipi merah merona. Baru kali ini Mita merasakan getaran cinta yang tiba-tiba yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa cinta yang menggebu-gebu menyelimuti seluruh hatinya.Dan kini senyum bahagia itu merekah di bibir tipisnya saat Ikmal mengucap janji sehidup semati dengan Mita.


Alhamdulillah :)



                                                                                            TAMAT


by : L-echa MitarockerzVirginity LoveChpramita
Sumber : Facebook Linda Respati Kasih

*Terlanjur Cinta Yang Memilih*

“Mit,cepetan loe pegang tangan gue! Sebelum semuanya terlambat,” Ikmal terus membujuk Mita.
“Gue takut Mal,”rengek Mita.
“Please Mit,kali ini percaya sama gue,” dengan tegas Ikmal meyakinkan Mita. Mita akhirnya pelan-pelan menuruti perkataan Ikmal,namun keraguan masih terbesit dibenaknya. Andai saja kalau orang itu Rio,mungkin Mita tidak akan pernah meragukannya. Mita tipikal orang yang tidak mudah percaya dengan orang lain tak peduli sedekat apa orang itu dengannya. Karna belajar dari pengalaman sang Mama yang membuat Mita enggan membuka diri dan terbiasa hidup mandiri karna ia tidak mau di pandang sebelah mata. Namun jauh di lubuk hatinya,Mita tidak jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan karna sejatinya jiwa Mita rapuh semenjak Mamanya meninggal. Tapi Rio selalu ada untuk Mita.


“Loe ga papa kan Mit?” hati Ikmal lega ketika Mita berhasil ia selamatkan. Hampir saja Mita terpeleset ke jurang namun ada ranting pohon untuk menahan tubuhnya dan untung saja Ikmal dengan cepat datang untuk menolongnya.



“Makasih Mal,” Mita spontan memeluk Ikmal. Dengan rasa heran,Ikmal membalas pelukan Mita. Karna tak seperti biasanya Mita sembarangan memeluk orang jika orang itu benar-benar berarti dalam hidupnya.
-Mungkin ini cuma tanda ucapan makasih aja,gue ga boleh berasumsi sesuatu hal yang ga pasti- hati Ikmal mencoba menepis apa yang sedang tersirat di pikirannya saat ini.


“Iya Mit,gue engga mau kehilangan loe untuk kedua kalinya,”Ikmal tanpa sadar kelepasan.
“Kedua kalinya?” Mita merasa aneh dengan ucapan Ikmal barusan.
“Udah lupain aja. Lain kali kalo jalan hati-hati ya,udah mau sore nih kita pulang yuk. Rio pasti udah khawatir sama loe,” ajak Ikmal yang disertai anggukan Mita.


            “Mita......kamu kenapa? baju kamu kotor begini,kamu ga apa-apa kan?” tanya Rio bertubi-tubi dengan nada khawatir.
“Tadi hampir aja Mita jatuh ke jurang,” Ikmal angkat bicara.
“Apa yang dibilang Ikmal bener Mit?”Rio mencari kepastian.
“Iya sayang,tadi hampir aja aku kepleset jatuh ke jurang tapi untung ada Ikmal yang menolong aku,” jelas Mita sedikit sungkan karna ia tahu sifat Rio yang sensitif.
“Lain kali kamu ga boleh teledor ya,apalagi sampai menyangkut keselamatan nyawa kamu,” pinta Rio mendekap Mita dengan hangat.



                  Mita duduk disebuah bangku didepan Vila sambil memainkan gitar kesayangannya.

“Belum tidur Mit?” tanya Ikmal tiba-tiba datang dan duduk disebelahnya.
“Loe liatnya gue masih melek apa udah merem,” jawab Mita dengan cueknya.
“Gue seneng liat loe yang dulu,jauh berbeda sebelum loe tunangan sama Rio,” Ikmal menatap Mita penuh arti.
“Perasaan loe aja kali,gue masih sama seperti Mita yang dulu kok,” Mita mencoba menepis tatapan Ikmal.
“Loe beda Mit,gue bisa merasakan perubahan itu. Mulai dari sikap loe,cara berfikir loe dan itu semua karna Rio,” desak Ikmal.
“Kalo iya emang kenapa? apa salahnya gue berubah demi orang yang gue cintai,” balas Mita tersenyum hambar.
“Gue engga suka,gue lebih suka liat loe yang dulu. Mita yang apa adanya,”Ikmal beranjak pergi dari hadapan Mita.


“Ternyata cuma Ikmal yang bisa ngerti gue,dia lebih tau tentang gue daripada Rio. Rio bahkan terlalu sibuk dengan sikap protektifnya yang ga penting itu. Ikmal juga selalu ada disaat gue butuh bantuan,dia berbeda dengan Rio,” Mita merenung ditengah sunyinya malam.

“Apa dulu gue udah salah ambil keputusan?” sesal Mita.
“Tapi ga mungkin gue menyesali apa yang udah menjadi jalan hidup gue,toh gue sama Rio selama ini lancar-lancar aja. Apa emang pikiran gue aja yang kejauhan,tapi emang ga bisa dipungkiri kalau gue lebih nyaman berada di dekat Ikmal daripada Rio,” renung Mita untuk kesekian kalinya.


“Eh, Ikmal !” reflek Mita ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundak Mita dan membuyarkan semua lamunannya.
“Rio ?! aku kira.......,”lanjut Mita menggaruk kepalanya.
“Oh aku ganggu lamunan kamu ya Mit? ya udah aku pergi deh,”Rio tersenyum maklum.
“Tunggu Yo,kamu temenin aku disini ya,” pinta Mita meraih tangan Rio. Rio pun duduk di samping Mita.
“Mita......perempuan ga pantes duduk seperti itu,”Rio mulai berkomentar melihat posisi duduk Mita.
“Tapi enakan kalo gini Yo,” rengek Mita dengan manja.

“Mita,meskipun gaya kamu masquline seperti ini tapi inget kamu ini perempuan harus punya sopan santun,” dengan sabarnya Rio menasehati Mita.
"Iya deh,"ucap Mita pasrah kemudian menurunkan satu kakinya.

-Heuh,capek juga kalo punya calon suami protektif,bawel,banyak ngatur pula. Tapi anehnya,kenapa gue cuma nurut aja ya. Kalo di pikir-pikir seneng juga dapet perhatian dari Rio- batin Mita cengar-cengir.

“Kok nyengir sendiri sih,terpesona sama aku ya?” goda Rio merangkul Mita.
“Apa sih,ternyata bisa genit juga ya,” ledek Mita sedikit salting. Rio pun merangkul Mita dan menaruh kepalanya di pundak Mita.
“I LOVE U Mit,” ungkap Rio mengecup pipi Mita. Hati Mita bergetar hebat.
“I LOVE U too Rio,” balas Mita yang juga mengecup pipi Rio. Malam itu menjadi malam teromantis bagi mereka berdua.


     Keesokan harinya.


“Sayang,bangun yuk udah jam 4 pagi. Kita sholat shubuh berjamaah yuk,” bujuk Rio dengan sabarnya. Ya memang,kini Rio lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Mita termasuk yang membiayai hidup Mita. Karna sejak 2 tahun yang lalu,Mita hidup sebatang kara.

“Bentar sayang,2 jam lagi ya?” rengek Mita dibalik selimutnya.
“Kalau 2 jam lagi keburu pagi dong,ga baik kalau menunda-nunda hal yang baik,” Rio masih saja bersabar.
“Iya deh,” ucap Mita akhirnya menurut.



Di halaman belakang Vila.

“Hai Mit,” sapa Ikmal mengejutkan Mita.
“Hoby banget loe ngagetin gue,” protes Mita.
“Gue cinta sama loe,” tanpa basa-basi Ikmal mengungkapkannya.
“A...pa??” Mita tidak pernah menduga sebelumnya.
“Iya,loe mau kan jadi cewek gue?” tegas Ikmal.
“Loe udah engga waras ya? Gue ini punya Rio,loe lupa ya kalo gue udah tunangan sama Rio?” Mita menggelengkan kepalanya.
“Gue tau Mit,gue rela kok loe dua'in. Selama ini gue liat loe ga pernah sedikitpun bahagia disamping Rio,” Ikmal menarik kesimpulan.
“Udah Mal! Loe pikir,gue ini cewek apa'an? Lagian tau apa sih loe tentang hidup gue?” Mita mulai emosi.


“Gue tau,loe sebenernya juga cinta kan sama gue?” Ikmal terus mendesak Mita.
Mita hanya terdiam membisu entah mulutnya sangat sulit untuk merangkai kata-kata.
Ikmal memeluk erat Mita dan sepertinya Mita tidak bisa menolak pelukan erat Ikmal hingga akhirnya Mita membalas pelukan itu.


Tanpa mereka berdua sadari,Rio berdiri di ambang pintu dan mendengarkan semuanya termasuk melihat Ikmal dan Mita berpelukan mesra. Betapa sakitnya hati Rio melihat kenyataan itu. Penilaian Rio kepada Mita selama ini ternyata salah besar. Rio pikir selama ini Mita sudah bisa mencintainya dengan tulus,namun kenyataan berkata lain.


Hari itu,Rio seharian mengurung diri di kamar. Kebiasaan yang selalu Rio lakukan setiap ada masalah.
Mita pun merasa aneh dengan Rio,Mita tau kalau Rio pasti sedang ada masalah.

     Malam harinya.

“Ketuk ga yah? Tapi kalo ga diketuk.....aduh,ketuk aja deh,” Mita penuh dengan keraguan.

“Makan malam yuk Yo,dari tadi siang kamu kan belum makan,” bujuk Mita penuh perhatian.
Namun tak ada respon sedikitpun dari Rio.

“Aku bawa'in makanannya ke kamar yah?” bujuk Mita lagi.
Tapi tetap saja tak ada respon apa-apa.
“Kamu marah ya sama aku?” ucap Mita pelan hampir putus asa.
“Apa kamu lagi ada masalah? share dong sama aku,aku ini tunangan kamu,” Mita hampir menitikkan air matanya dengan sikap Rio.
“Aku ga butuh kamu Mit,mending kamu makan sama Ikmal aja,” ucap Rio akhirnya dengan nada ketus.
“Aku ga ngerti kenapa kamu berubah seperti ini,semalem kamu tuh ga sedingin ini sama aku. Tolong jelasin ke aku Yo,” pinta Mita dengan air mata membasahi pipi.
“Ga ada yang perlu dijelasin Mit,karna kamu juga udah tau semuanya,” jawab Rio dengan dinginnya.
“Oke,kalau itu mau kamu. Aku engga akan ganggu kamu lagi. Tapi ada satu hal yang perlu kamu tau, Aku cinta kamu Rio,” ucap Mita dengan tulus. Kali ini hati Mita yang berbicara. Tanpa Mita sadari sedikit demi sedikit cinta itu tumbuh di hati Mita,tentunya cinta itu hanya untuk Rio.

-Maafin aku Mit,aku harus mengambil keputusan ini demi kebaikan kita berdua dan tentunya semua ini demi kebahagiaan kamu Mit. Aku engga mau egois dengan mengorbankan kebahagiaan kamu hanya demi kebahagiaanku - renung Rio malam itu.



          Keesokan harinya

“Pagi Mit,” sapa Ikmal yang sedang duduk di meja makan.

“Sarapan bareng yuk,” lanjut Ikmal mengunyah roti tawarnya.
Tapi Mita tak mempedulikan Ikmal. Kedua matanya hanya terfokus memandangi pintu kamar Rio.
“Mal,Rio belum keluar kamar yah?” tanya Mita sedikit khawatir.

“Hloh,Rio baru aja keluar tuh tapi bawa koper besar. Gue tanya mau kemana tapi malah diem aja terus nyelonong pergi gitu aja,” jelas Ikmal.
“Apa !! Jangan-jangan........” tanpa pikir panjang Mita langsung berlari menuju halaman depan karna terdengar suara mesin mobil.

“Rio....!!” teriak Mita.

“Buka pintunya Yo ! Buka !!” pinta Mita mencoba menggedor-gedor kaca pintu mobil Rio.
Rio tak mempedulikan Mita.

“Rio,tolong jangan gini'in aku! Kamu turun ,kamu jelasin ke aku apa alasan kamu mau pergi ninggalin aku!” Mita menahan kepergian Rio.
Akhirnya Rio pun luluh,membuka pelan pintu mobilnya dan langsung memeluk Mita dengan erat.

“Maafin aku sayang,mungkin ini sudah menjadi takdir kita berdua. Aku harus pergi sayang,ini semua aku lakuin demi kebahagian kamu. Aku engga mau jadi penghalang antara kamu dan Ikmal,” terang Rio panjang lebar.
“Aku ga bisa hidup tanpa kamu,aku udah terlalu bergantung sama kamu Yo. Yang aku cinta cuma kamu bukan Ikmal,” titik demi titik air mata mulai bergulir dipipi Mita. Mita memang perempuan yang tegar namun di sisi lain,Mita membutuhkan figur seorang lelaki yang bisa menjadi imamnya sekaligus melindunginya.

“Tapi Mit,aku engga bisa seperti dulu lagi. Aku sadar selama ini aku terlalu protektif sama kamu,” ungkap Rio mengelus-elus punggung Mita.
“Aku salah sama kamu,betapa bodohnya aku selama ini udah menyia-nyiakan cinta dan perhatian yang begitu tulus yang kamu berikan kepadaku. Aku lemah tanpa kamu Yo. Tolong kasih aku kesempatan untuk menempati ruang di hati kamu lagi.Ijinkan aku untuk memiliki cinta kamu Yo,”pinta Mita yang semakin mempererat pelukannya tak ingin Rio lepas dari pelukannya lagi.

“Aku percaya sama kamu Mit,dan ijinkan aku untuk memiliki kamu seumur hidupku,”pinta Rio dengan nada serius.
“Maksud kamu?”Mita melepaskan pelukannya.
“Aku mau kamu jadi istri aku Mit,”Rio menggenggam erat tangan Mita.
“A..ku……,”jawab Mita dengan terbata-terbata.



Tiba-tiba……………


“Braakkkk…..”rasanya tubuhku terpental dengan keras,sampe mau copot nih badan. Tak ku sangka,ternyata aku jatuh ke lantai dari tempat tidurku yang membuat semua mimpiku terhenti.
“Ah….ternyata cuma mimpi ditengah siang bolong,”ujarku melihat jam dinding yang tepat menunjukkan  pukul 15.00 WIB.
“Kenapa sayang?”tanya Rio tergesa-gesa membuka pintu kamarku tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Aku pun bergegas berdiri dari lantai dan langsung memeluk Rio yang masih berdiri di ambang pintu.
“Kamu kenapa Mit?”tanya Rio dengan lembutnya.
“Aku engga mau kamu pergi ninggalin aku,”jelasku terisak di pundak Rio.
“Engga pernah sedikitpun terlintas di pikiranku untuk pergi dari kamu,”jelas Rio yang membuatku sedikit tenang.
“Seberapa penting aku di hidup kamu?”tanyaku penuh selidik.
“Tak terhingga,”jawab Rio pasti,yang membuatku semakin tenang.

-Ya,seharusnya aku tidak perlu meragukan cinta Rio lagi. Dan…..Ikmal,hanyalah akan menjadi secuil kenanganku di masa lalu. Setidaknya,Ikmal lah yang mengajariku tentang arti sebuah cinta namun itu semua tidak cukup untuk membuatku bersamanya karna kini aku telah memutuskan untuk melabuhkan cintaku di hati Rio. Karna menurutku Rio adalah orang yang tepat untukku. Dan inilah keputusanku……..sedikitpun aku tak akan pernah menyakiti hati Rio lagi. Karna cinta Rio terlalu berharga untuk aku sia-siakan- batinku di balik dekapan hangat Rio.




Tamat



by : Linda Eka 
Sumber : Facebook Linda Respati Kasih

Everything Has Changed - Taylor swift ft Ed Sheeran

All I knew this morning when I woke
Is I know something now, know something now I didn't before
And all I've seen since 18 hours ago is green eyes and freckles and your smile in the back of my mind making me feel right
I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you know you know you

Cause all I know is we said hello
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name, everything has changed
All I know is we held the door
You'll be mine and i'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

And all my walls stood tall painted blue
But i'll take them down, take them down and open up the door for you
And all I feel in my stomach is butterflies the beautiful kind
Making up for lost time, taking flight, making me feel right

I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you know you know you

Cause all I know is we said hello
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name, everything has changed
All I know is we held the door
You'll be mine and i'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

Come back and tell me why
I'm feeling like i've missed you all this time
And meet me there tonight
And let me know that it's not all in my mind

I just want to know you better know you better know you better now
I just want to know you know you know you

Cause all I know is we said hello
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name, everything has changed
All I know is we held the door
You'll be mine and i'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed

All I know is we said hello
So dust off your highest hopes
All I know is pouring rain
And everything has changed
All I know is a newfound brightness
All my days, i'll know your face
All I know since yesterday is everything has changed





“Never Ending Love, Cerpen”

Cerita ini terinspirasi dari karya-karya Bang
Darwis Tere-Liye.

Selamat membaca :)

Matahari pagi menyambut riang hari ini. Aku menggeliat, masih mengantuk. Tapi setumpuk pekerjaan telah siap menanti, terpaksa kuhempaskan selimutku dengan segan. Beginilah kalau rasa malas mulai menghinggap.

Sepuluh menit waktu yang kuperlukan untuk bersiap diri. Mandi seadanya. Kali ini rambut mohawk kubiarkan begitu saja, sudah tak ada waktu untuk sekadar membuatnya jabrik. Aku hampir terlambat. Dengan cepat aku menyambar tas kantor yang tergeletak di atas meja. Beberapa kali aku melirik jam merk Guess di pergelangan tanganku, tepat menunjukkan pukul setengah delapan. Itu artinya aku hanya memiliki waktu tigapuluhmenit saja untuk berpacu dengan waktu.

Padahal....

Mobilku sedang mogok dan masih dibengkel. Aku berjalan lunglai menyusuri trotoar menuju halte bus. Perasaan jengah mulai menyeruak, hampir lima belas menitan aku menunggu, menyender di salah satu tiang penyangga halte itu. Sekarang mungkin aku sedang membayangkan muka merah si bos yang melihatku terlambat masuk kerja untuk kesepuluh kalinya. Untung aku mempunyai prospek kerja yang membanggakan, jadi si bos harus berfikir berjuta kali sebelum memberiku uang pesangon ; memecatku.

Aku menyeka dahiku, akhirnya bus datang juga. Bus merapat. Orang-orang berlarian, menyerobot ingin naik duluan. Aku menggeleng pasrah, keterlaluan!
Lebih baik aku mengalah, mengambil giliran terakhir untuk naik.
Aku menyapu seluruh pandanganku, berharap ada bangku kosong yang tersisa untukku. Hingga pandanganku terhenti pada bangku kosong di deret tengah sebelah kiri.
Aku bergegas melangkah.
Menyapa seseorang yang sudah duduk dibangku itu.


“Maaf Mas, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” tegurku, menyetel suaraku agak sopan, takut menyinggungnya.
Dia memicingkan mata, menatapku aneh. Sejurus, dia sudah memindahkan gitar itu kepangkuannya.
Aku duduk, menarik nafas lega, setidaknya aku hanya akan terlambat duapuluhmenit ke kantor. Paling cuma dapat omelan pagi dari si bos.

Aku tak banyak bicara dengan orang disebelahku. Berbasa-basi pun tidak. Tapi entah ada sesuatu hal di dirinya yang membuatku ingin mencuri-curi pandang dengannya.
Dia mengenakan topi hitam-merah yang sempurna menutupi sebagian wajahnya.
Dilihat dari perawakannya, aku yakin benar kalau dia adalah seorang laki-laki.
Sesuatu yang unik yang membuatku betah berlama-lama disampingnya.
Dia terus-terusan menatap nanar keluar bingkai jendela bus, hanya terlihat mulutnya yang komat-kamit asyik mengunyah permen karet. Sepasang headset juga nyantol di kedua kupingnya. Asyik mendengar lantunan lagu.

Aku merogoh saku celanaku lantas menyerahkan uang ke kondektur yang tadi menepuk pundakku.

“Ongkosnya mbak?” tegur sang kondektur.
Alisku saling bertaut.
Mbak? Apa yang dimaksud oleh kondektur dengan kata ‘Mbak’. Sementara aku sibuk celingukan, menoleh ke kanan dan ke kiri.
Mana?
Tidak ada seorang wanita satupun disamping-sampingku.
Aku terhenyak begitu melihat orang yang duduk disebelahku merespon teguran sang kondektur.
Aku mendesis, salah paham.
Apa indra penglihatanku sudah tidak berfungsi dengan baik? Sehingga sudah tidak bisa membedakan mana yang laki-laki dan mana yang perempuan.
Aku memasang wajah tidak percaya, terlalu aneh tapi ini sungguh nyata.
Aku sampai melongo dibuatnya.

Dia adalah perempuan, panggilan kondektur tadi dialamatkan untuknya. Mungkin saja, kondektur itu sudah familiar dengannya. Sehingga ia dengan yakinnya memanggil orang disebelahku dengan sebutan ‘Mbak’.
Tapi...
Menurutku dia lebih pantas dipanggil ‘Mas’ ketimbang memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’. Kata itu akan terlihat benar-benar kontras jika dibandingkan dengan gayanya yang bahkan lebih tampan dari lelaki pada umumnya.

Ada semburat bangga diwajahku, diam-diam meliriknya lagi dan lagi.
Ingin rasanya aku menjulurkan tanganku ini, sekadar mengucap hai atau bertanya namanya siapa?. Tetapi mentalku seakan menciut, mulutku kelu, dan hatiku menjadi tak karuan.
Ya Tuhan, perasaan apa ini?
Perasaan yang secepat kilat memporak-porandakan hatiku pagi ini.
Suasana beku menelungkup. Gerimis rintik-rintik membungkus ibukota pagi. Suara knalpot-knalpot menderu saling menyahut.

“Kiri, kiri Pak!!” seru perempuan disampingku, lantunan suaranya mengguratkan ketegasan dan ketenangan. Ia bergegas berdiri, terburu-buru. Aku meringsutkan tubuhku, memberinya jalan.
Harum tubuhnya menyerbakkan wewangian, membuatku terbuai.
Aku mendekat ke jendela, mengintainya. Aku tersenyum, ternyata panti asuhan itu yang menjadi tujuannya.
Aku semakin penasaran sebelum aku bisa melihat wajahnya secara utuh. Memastikan sendiri kecantikannya yang alami tanpa beralaskan bedak tebal bahkan tanpa embel-embel kosmetik seperti perempuan kebanyakan. Dia berbeda, membuat rasa penasaran tumbuh liar dihatiku.
Mulai hari ini tekadku sudah bulat untuk setia menumpang bus ini, padahal untuk masalah transportasi aku paling sensitif dan penuh pertimbangan. Namun kali ini, tak perlu sampai dua kali aku meyakinkan hatiku.

Aku ingin mengenalnya. Itu saja. Dan jika lebih dari itu, mungkin karena naluriku yang berbicara. Demi menatap wajahnya esok hari, aku melukis senyum indah sepanjang hari. Tak sabaran menunggu hari menjelang pagi.
Sepucuk asa terurai dibenakku, pelan membawaku terbang menembus radar.
Terbang bersama bidadari-bidadari syurga.
Eh, aku belum mau mati!

*

Malam beranjak matang. Wajah perempuan itu terlukis sempurna dilangit-langit kamarku. Cantik, nyaris sempurna. Belum sempurna benar karena aku belum melihat lekukan wajahnya dengan seksama, hanya sekilas mata memandang. Aku berharap semua berjalan sesuai anganku. Tak ada yang mengecewakan, dan takkan ada yang dikecewakan. Semua harus kupersiapkan secara matang. Mengumpulkan semua nyaliku malam ini untuk esoknya mengucap kalimat perkenalan kepadanya.
Ya Tuhan, apa perasaan ini tidak terlalu cepat?
Bahkan namanya saja aku belum tahu. Ah memang, tadi aku terlalu gengsi untuk menyapanya. Aku sadar, wanita tidak mungkin memulainya tapi lelakilah yang seharusnya lebih berani. Melihatnya saja jantungku mau copot, apalagi sampai berbincang akrab.

***

Pagi menjelang, semburat senja terlihat di ufuk timur. Embun pagi membasahi kaca jendela.
Waktu berjalan cepat. Aku membenarkan pendapat Albert Anstein tentang steatmentnya yang mengatakan bahwa cepat atau tidaknya waktu tergantung dari suasana hati yang menjalani. Dan ternyata terbukti benar adanya.

Hari ini aku bangun lebih awal. Pukul tujuh bahkan aku sudah standby di halte itu. Aku menyeringai palsu, kali ini akulah orang pertama yang harus naik kedalam bus. Aku tak mau mengalah lagi demi melihat wajah perempuan itu dan bila ada peluang aku ingin duduk disampingnya lagi.
Jantungku semakin berdebar begitu melihat bus yang kemarin terlihat dari arah baratdaya.
Aku menata diri, beberapa kali mengusap rambut mohawk-ku yang kubuat jabrik keatas. Beberapa kali juga menghela nafas panjang, mengurangi rasa gemetar didada.
Bus merapat. Orang-orang berhamburan, berjubel. Dengan gesit aku menerobos antrian, tak peduli ada yang ngomel-ngomel maupun menyumpah-nyumpah. Bagiku, pagi ini hari krusial untukku, mengalahkan urusan-urusan penting orang lain bahkan ibu yang akan melahirkan sekalipun. Ini tetap pagi spesialku.
Mataku mencembung, lirik sana lirik sini. Berusaha mencari sosok itu. Dan ternyata, pagi memang sedang berbaik hati.
Aku melihatnya. Utuh. Kali ini tak ada topi yang menghias dikepalanya. Wajah yang natural, manis dengan tahi lalat di bawah hidungnya yang menawan. Sempurna, lengkap sudah.
Ya Tuhan, langkah kakiku berat kuayunkan. Mataku masih memaku, melihat siluet tubuhnya yang masih duduk dibangku yang sama seperti kemarin.
Ah, aku harus buru-buru sebelum ada orang yang menyerobot duduk disampingnya.


“Maaf Mbak, gitarnya bisa dipindah? Saya mau duduk disini,” aku menegurnya, sedikit terbata-bata. Kalimat yang sama seperti kemarin, hanya saja sekarang aku memanggilnya dengan sebutan ‘Mbak’.
Dia menyipitkan mata, menatapku aneh untuk kedua kalinya.
“Ada yang aneh ya? Kok melototin saya sampai segitunya?” tanyaku, dia hanya menggeleng pelan.

“Rambutnya keren!” komentarnya, aku tersenyum tersipu malu.

“Makasih!” seruku sumringah.
Oh-Ibu, Aku tak kuasa melihat senyumnya yang menghanyutkan. Sorot matanya teduh, penuh kesahajaan.
Sekarang aku malah mengharap belum ada yang memiliki gadis ini. Membayangkan betapa bahagianya menghabiskan seumur hidupku bersamanya. Aku takjub melihatnya, bagai bidadari langit yang nyasar di bus ini.

Dalam hati tumbuh bunga-bunga merekah, indah nan wangi.
Aku tak berani menegurnya lagi, terbenam dalam kepengecutanku.
Ah, lebih baik aku menikmati sisa-sisa waktu yang tersisa sebelum akhirnya ia turun didepan panti asuhan itu.
Aku memang terkesan tidak gentle didepannya, lebih karena aku kadung terhipnotis oleh wajahnya yang memesona. Menyejukkan hati, membelai mesra relung-relung hatiku.
Tapi entah mengapa, keringat dingin menetes, menggelinding dengan mulusnya.
Berkali-kali aku menyeka dahi, grogi melanda hebat.
Aku mulai khawatir, jarak panti asuhan itu tinggal setengah kilometer lagi.
Bodohnya diriku, kenapa daritadi aku tak mengajaknya berkenalan. Disaat mepet seperti ini aku malah baru menyadari kekeliruanku. Tak mungkin aku mengajaknya bicara sekarang, bukan?

Semua nyaliku seolah runtuh sekejap, percuma capai-capai mengumpulkannya semalaman.
Usahaku sia-sia.
Kenapa untuk mengenalnya saja terasa sulit sekali, seperti ada gembok yang membungkam mulutku kuat-kuat.
Padahal dulu ketika masih kuliah, aku mendapat predikat ‘Playboy Tingkat Tinggi’.

Tapi lihatlah sekarang...

Dulu begitu mudah aku menaklukan perempuan-perempuan, tapi didepannya aku seperti mati kutu.
Hilang sudah semua sajak-sajak puisi yang biasa menjadi modal rayuan gombalku.
Yang tersisa hanya tatapan diam. Pura-pura aku menyibukkan diri, padahal hati terdalamku bergolak.
Dia berdiri. Terburu-buru lagi sambil menenteng gitar di tangan kanannya.
Sempat juga melempar senyumnya kepadaku.
JEDER! Jantungku benar-benar berhenti berdetak demi melihat senyum mautnya. Sunyi. Senyap. Waktupun seperti ikut membeku bersama hatiku.
Aku mulai meyakinkan hatiku bahwa aku akan tetap menunggu kesempatan itu ; mengajaknya berkenalan.

***

Pagi ini aku mempunyai sejuta alasan mengapa aku mengendarai mobil untuk pergi ke kantor. Dua alasan diantaranya. Pertama, pagi ini ada rapat krusial bersama client dan ini sangat menentukan masa depan karierku di perusahaan itu. Tidak mungkin kan aku naik bus yang memakan waktu dua kali lipat?

Kedua, aku tidak bermaksud mangkir atas janjiku sendiri untuk setia melihat gadis itu setiap pagi. Tapi keadaan mendesakku. Tadi saja jam delapan aku baru bangun. Sementara jam setengah sembilan rapat akan dimulai. Buru-buru, tak sempat berkompromi dengan waktu. Mandi saja tidak sempat. Cukup sekali ini saja aku harus mengesampingkan hatiku yang merajuk ingin bertemu gadis itu. Membesarkan hati.
Tapi aku berjanji pada hatiku, besuk atau lusa, aku pasti bisa mengetahui namanya. Dan kali ini aku akan menepati janji itu.

Sebenarnya aku mengkal, bukankah kemarin pagi aku menggumam kalau urusan gadis itu jauh lebih penting diatas segala-segalanya? Namun apa daya, pekerjaan lebih menyita waktuku meski fokusku masih tertuju pada gadis tomboy itu.
Perasaan rindu tumbuh menggelayut, menyesakan dada.
Pikiranku sibuk melukis wajah indahnya di dinding-dinding ruang rapat itu.
Aku melamun.
Beberapa kali mendapat sikutan tangan dan tatapan tajam dari si bos. Aku meringis, sungguh perasaan ini mengalahkan rasa kantuk yang biasa menderaku. Berdehem. Kembali menyimak rapat yang tengah berlangsung.

*

Pukul lima sore menjadi waktu untuk berpacu bersama kemacetan jalanan sore ibukota. Mobil-mobil padat merayap, memenuhi sejauh mata memandang. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari. Dengan luwesnya sibuk memainkan kecrekan atau gitar ditangannya dengan irama lagu seadanya. Ada yang membawa kemoceng, menawarkan jasa membersihkan debu-debu yang menempel pada body mobil. Tersenyum lepas. Mereka terlihat begitu riang. Meski garis kehidupan membuat mereka putus sekolah hingga mengecap pahitnya kehidupan jalanan kota metropolitan.

Tak sengaja aku melirik, terkesiap, gelagapan, lantas tersenyum lebar. Hatiku kembali berdebar.
Melihat sosok gadis tomboy itu (lagi).

Dia naik bus yang sama seperti biasanya, ditempat duduk yang sama, dan duduk didekat jendela bus. Dari dalam mobil, aku bisa melihat lekukan wajahnya. Dia cantik. Cantik sekali. Tapi ada sedikit yang berubah. Gelisah menghias diwajahnya, menutupi mimik wajah yang bersahaja. Tatapannya kosong, penuh kenanaran. Ada apa dengannya? Masalah apa yang tengah menderanya? Apakah ada orang yang telah tega menyakiti gadis secantik dia?
Aku harus mencari tahu sendiri.

Aku mengikuti bus yang melaju dalam kecepatan medium, petang hari adalah puncak padatnya lalulintas. Berjubel. Sedangkan hatiku mendesak buru-buru, namun sikon sedang tidak bersahabat.
Hingga bus berhenti pada sebuah halte.
Mataku tetap mengunci sosok itu, tak mau kehilangan jejaknya sedetikpun.

Dia berjalan, masuk ke salah satu gang kecil. Aku membututinya dengan berjalan kaki ;
tidak mungkin kan aku membawa mobilku?
Berjalan mengendap-ngendap macam maling ayam kampung.
Berjalan berjingkat-jingkat, sedikit gelagapan takut sampai dia tahu kalau sedang kuikuti.
Aku mempercepat langkah. Naas bagiku, perhatianku terganggu.
GUBRAK!
Sempurna aku menghujam tiang listrik. Aku mengaduh, benturan yang membuat dunia-ku seolah berhenti berputar sejenak.
Dia menoleh, menghampiriku yang merintih sakit.
“Nggak apa-apa Mas?” tanyanya, memegang bahuku.
Aku menggeleng sekenanya. Kami saling bertatapan lama, waktu seakan membeku. Cahaya matanya menyiratkan kelembutan, penuh syahdu.

“Eh, kamu orang yang kemarin kan?” dia menunjukku, mengingat-ingat sesuatu.

“Iya! Kamu tinggal di daerah sini?” tanyaku.
Aduh! Seharusnya menanyakan namanya adalah tujuan utamaku. Tapi aku malah mengajaknya berbasa-basi. Ah, harusnya tadi aku to the point.

Langit terlihat gelap-gulita. Awan hitam berarak menggumpal gemawan hitam yang siap menumpahkan air langit.
Dalam hitungan sepersekian detik, hujan turun.
Begitu deras.
Bahkan aku hanya mematung, tersihir pesonanya yang membius hati.
Aku tergugu, dia menarik lenganku. Bergegas. Berlari.
“Kita berteduh di rumah saya, nggak jauh kok dari sini!” serunya diantara bilur-bilur air hujan.
*
Tiba di sebuah rumah  ; rumah yang tidak terlalu mewah. Dia menawarkan aku untuk duduk. Aku menurut. Dia duduk disampingku. Beberapa kali mengusap wajahnya yang kebas oleh air hujan. Aku meneguhkan hati.
“Ah-ya, nama kamu siapa?” sedikit ragu aku bertanya. Galau melanda, gugup mendera.
“Ca-me-ria Ha-p-p-y Pa-ra-mi-ta,”ucapnya patah-patah. Aku melipat dahi.
“Panggil aja Mita!”
“Saya Ikmal,” dengan pedenya aku menyebutkan namaku. Suasana lengang. Hujan sedikit mereda. Namun halilintar masih menyalak-nyalak.
“Ada masalah apa?” tegurku setelah melihatnya tercenung hampir lima menitan.
Dia menyeka ujung-ujung matanya,“Saya akan menikah, esok lusa!” ucapnya lirih. Lamat-lamat aku menatapnya. Senyap. Buncah. Menelan ludah. Mita tertunduk dalam-dalam. Entah. Seharusnya dia berbahagia atas pilihan hidupnya untuk menikah esok lusa. Tapi lihatlah dia. Seakan menyesali keputusan terbesarnya.
Tak ada sepatah kata-pun yang bisa terucap. Bisu. Waktu berhenti bergulir. Bumi seakan berhenti dari porosnya. Hanya suara rintik hujan yang masih bersisa. Harapan kosong. Halilintar menyalak hebat bagai adegan slow-motion dalam film-film. Aku pulang dengan pusara dihati. Memaksa hati untuk menerima sebuah takdir pelik. Mita bukan untuknya.


Mungkin takdir ini terlanjur menunggu
Diriku tak dapat menghindari
Walaupun seribu bintang tinggalkanku
Dan mentari tak bersinar
Aku takkan mampu tuk lepaskanmu
Mencoba sejenak ungkapkan segalanya yang telah terjadi

Duhai cinta..
Tataplah aku disini tetap menatapmu
Walau perih terus kau sakiti aku
Tetap mengharapmu
Mungkin benar bila aku tak berarti
Dan dirimu terlalu berarti
Walaupun pekatnya bulan gelapkanku
Dan pelangi tak berpijar
Wajahmu terlalu indah tuk kubenci
Dan kuterus mencintaimu
Engkau terus melupakan aku
( Tito – Kubenci Kau Dengan Cintaku)

Tamat

Nb : Maaf kalau ada salah-salah kata atau pelafalan. Author juga manusia ^_^ hehe

Sumber : Facebook Linda Respati Kasih