Woensdag 19 Februarie 2014

Apalah Arti Menunggu**

Menunggu..
Sebuah kata yang cukup membosankan untuk didengar, atau malah untuk dijalankan. Mengapa aku sebut membosankan? Karena aku telah menjalankan itu selama sekitar enam tahun. Menunggu apa yang aku rasa harus ku tunggu. Namun tidak jelas akan kepastiannya.

Tahukah kamu?

Tidak ada hal yang lebih membosankan daripada harus menunggu. Menunggu tanpa kepastian. Menunggu hal yang buram, yang tidak jelas bahkan semua pun seperti warna abu-abu. Tapi, aku terus dan tetap bertahan.
Apakah kamu tau, perasaan kuat apa yang mendorongku terus bertahan untukmu? Tahukah kamu perasaan apa yang kuat untuk terus berdiri tanpa mengenal lelah? Perasaan ini yang aku sebut Cinta.

Cinta.

Satu perasaan tidak berwujud, tapi sangat berharga. Perasaan itu yang mendorongku untuk tetap menunggu dirimu. Tidak perduli bagaimana akhirnya. Aku tetap berpegang teguh pada janjimu. Janji akan setia padaku, dan akan kembali menemuiku nanti.

Janji itu. Ingatkah kamu. Malam dimana sehari sebelum kepergianmu, kamu berjanji padaku. Disaksikan oleh cahaya bulan dan bintang yang gemerlap menghiasi angkasa. Ingatkah kamu. Malam itu kamu mengucapkan janji yang membuatku tidak kuat untuk menahan air mata yang berdesakan ingin keluar? Ingatkah kamu. Malam itu kamu terus merengkuhku kedalam pelukanmu. Menenangkan hati dan jiwaku yang resah atas kepergianmu.

Ingatkah kamu.

Malam itu kamu berjanji akan terus ada untukku. Karena katamu jarak tidak akan pernah membuat kita terpisah? Tapi nyatanya? Kamu menghilang. Bagai matahari yang tergusur oleh awan kelabu dan air hujan. Bagai tulisan pasir yang terhempas oleh ombak.

Kamu seakan sirna. Seakan hilang ditelan bumi. Tahukah kamu? Aku masih setia berkunjung ke tempat dimana pertama kali kamu bilang kamuu mencintai aku. Aku masih berdiri tegak. Aku tidak perduli apa yang mereka katakan tentang kamu. Yang aku tau, kamu tidak seperti yang mereka katakan. Yah. Itu yang masih aku percayai. Sampai saat ini.

Satu tahun.

Aku masih berdiri dengan tegak. Masih mengharapkan kehadiranmu. Ditempat yang sama. Menunggu kamu. Di waktu yang pernah kamu utarakan dulu. Hari ini adalah hari jadi kita. Dan lagi-lagi dulu kamu berjanji akan menemuiku saat hari special kita tiba. Aku terus menunggu.

Tahukah kamu?

Aku datang sebelum matahari terbit, dan aku pulang setelah lewat tengah malam. Tapi, kamu tidak kunjung datang. Bahkan tidak ada tanda-tanda kedatanganmu sama sekali. Apakah kamu lupa? Atau malah kamu memang sengaja tidak ingin menemuiku? Atau mungkin kamu terlalu sibuk? Yah. Mungkin kamu memang terlalu sibuk. Mungkin aku terlalu percaya kepadamu.

Tahun-tahun berikutnya.

Selamat hari jadi yang kesekian kalinya. Tahukah kamu? Aku tetap merayakan hari jadi kita. Ditemani lilin-lilin kecil yang aku hias untuk menggantikan sinar lampu. Dan tidak lupa aku membawa sepotong kue tart dan lilin berbentuk angka sesuai umur hubungan kita. Tahukah kamu? Aku selalu meminta pada tuhan untuk membawamu kembali ketempat ini. membawamu kembali kedalam pelukanku. Membawamu kembali dikehidupanku yang nyata. Namun sepertinya sia-sia.

Lagi-lagi aku meniup lilin dan memakan kue itu sendirian. Menatap indahnya bulan dan bintang ditemani beberapa butiran air mata yang terus menetes. Tahukah kamu? Melewati hal seperti ini sangat menyakitkan untukku. Tidakkah kamu mengetahuinya? Apakah disana kamu merindukanmu? Apakah disana kamu mengingatku? Apa disetiap doamu masih terselip namaku? Seperti yang selama ini aku lakukan. Seperti aku yang selalu mengingatmu, merindukanmu, bahkan selalu menyebut namamu disetiap hembusan nafasku.

Apakah aku ini masih penting? Hal itu yang selalu terucap dalam ingatanku. Apakah aku ini masih cukup pantas untuk diingat? Tidak. Ku rasa itu jawaban yang pantas. Aku tidak cukup atau bahkan memang sangat tidak pantas untuk diingat. Aku mengerti.

Kepergianmu beberapa tahun yang lalu tentu bukan keinginanmu. Itu keinginan orang tuamu. Mereka menginginkan kita berpisah bukan? Itu sebabnya mereka mengirimkan kamu ke negeri yang entah berantah. Ayah dan ibumu tidak menyetujui hubungan kita. Hanya karena aku ini bukan orang  yang berada seperti keluargamu. Mereka menilaiku hanya berdasarkan materi. Mungkin aku memang tidak pantas. Sangat tidak pantas.

Aku mencintaimu. Bukan karena kamu orang yang kaya raya. Bukan karena alasan-alasan lainnya. Memangnya kenapa kalau kamu itu orang kaya atau miskin? Aku tidak harus memperdulikannya bukan?

Kita bersatu karena cinta. Atas dasar perasaan yang membuat kita bahagia. Kamu mencintaiku dan begitupun sebaliknya. Atau malah aku lebih mencintai kamu. Lebih dari perasaan orang lain terhadapmu.
Namun, keputusan orang tuamu sepertinya membuat kamu menyerah. Berhenti mencintaiku. Atau mungkin janji yang pernah kamu ucapkan hanya sekedar basa-basi agar aku tidak tersakiti. Kalau memang iya, kamu salah besar. Kepura-puraanmu membuat aku jauh lebih terpuruk dan  tersakiti.

Puaskah kamu?
Puaskah kamu melihat kehancuran yang aku alami saat ini? puaskah kamu melihat aku tidak bisa lagi mencintai orang lain? Puaskah kamu membuatku terbang dan akhirnya terhempas? Puaskah kamu?
**
Enam tahun setelah kepergianmu.

Aku kembali mengunjungi tempat ini dengan kebaya berwarna merah. Tahukah kamu? Hari ini adalah hari pertunanganku. Aku sadar tidak ada lagi yang bisa aku harapkan. Tidak ada lagi hal yang harus membuatku tetap menunggumu. Semua telah sirna. Aku sudah menguburkan segala angan-angan indah bersama-mu.

Pria itu. Dia adalah sahabat kita.

Ingatkah kamu? Dia ternyata memendam perasaan cinta kepadaku. Menurutku, tidak ada yang salah dengan melepaskanmu dan menjalani lembaran baru bersamanya. Mungkin kini aku sudah merasa lelah mencintaimu. Atau mungkin, kini saatnya aku merasakan indahnya dicintai dengan tulus oleh orang lain.

Dia adalah sahabatku, tentu sahabatmu juga. Dan menurutku tidak cukup susah untuk mencintainya. Yah, hanya memerlukan waktu. Seiring berjalannya waktu aku tentu akan mencintainya dan melupakan kenangan kita.
Tangan halus nan kekar merangkul pinggangku, dengan senyuman khasnya ia mengajakku pulang. Jam sudah menunjukan pukul delapan. Satu jam lagi aku akan meresmikan pertunanganku. Semoga jalan ini memang yang terbaik. Untukku dan untukmu yang sudah meninggalkanku tanpa jejak.

Pertunangan itu berjalan sangat lancar. Senyum merekah dari wajah semua yang menyaksikannya. Dan tahukah kamu, aku melihat sosok ibumu datang ke pesta pertunanganku dengannya. Ia terlihat sangat bahagia. Aku tau, ini memang yang ia inginkan.

Dan Hari pernikahan itu tiba.

Satu tahun setelah pertunangan, dia, keluarganya, dan juga keluargaku merencanakan pernikahan tersebut. Aku tidak menolak. Bukan karena aku pecundang atau wanita yang tidak berani. Namun satu hal yang membuatku kuat untuk berbahagia bersamanya. Aku mulai mencintainya.

Perhatiannya, cinta kasihnya, dan semua yang ia lakukan tulus untuk membuatku bahagia. Dan itu adalah point penting dalam hidupku. aku sadar, sudah tidak ada gunanya menunggumu. Menunggu harapan kosong yang pernah kau tebar padaku. Dan aku sadar. Betapa bodohnya aku terus menunggu tanpa ada kepastian.

Kamu menang.

Kamu pemenangnya. Puaskah kamu sudah membuatku seperti ini? tuhan selalu menyayangi umatnya yang selalu sabar, bukan? Dan sekarang adalah saatnya tuhan menunjukan jalan kebahagiaan untukku.

Kemeja putih, Dasi kupu-kupu, Jas abu-abu, Celana bahan hitam.
Gaun pengantin putih, heels berwarna gading, make-up natural.

Hari pernikahan itu benar-benar tiba. Janji suci itu pun terucap. Janji akan menjalani hidup bersama, selamanya. Janji akan saling setia, dan janji akan tetap bersama walaupun badai menghadang. Aku bahagia. Air mata haru turun berdesakan. Dia mengecup singkat bibirku. Membuat seluruh tamu tersenyum ikut merasakannya.

Tahukah kamu apa yang aku rasakan?

Aku bahagia. Sangat bahagia. Ternyata ini jauh lebih membahagiakan dibanding saat kamu menyatakan perasaanmu kepadaku. Kamu tau? Dia benar-benar membuatku merasa sempurna. Dia memperlakukanku layaknya ratu.
Dihari pernikahan ini, aku menatap bahagia kepada para tamu. Para teman-teman yang datang dan menanyakan bagaimana bisa aku menikah dengannya. Aku bingung. Tetapi kemudian aku bilang, ini semua rahasia tuhan.

Dan hal yang tak kusangka. Kamu hadir.

Kamu hadir dalam balutan jas yang membuat ketampananmu menyeruak keluar. Kamu menghampiri aku dan suamiku. Mengucapkan kata selamat serta memberikan kado yang cukup besar. Kali ini aku berterimakasih. Berterimakasih dengan tegas. Karena kamu menerima akhir bahagia yang aku rasakan.
“maaf. Maaf untuk beberapa tahun membuatmu menunggu. Maaf untuk ucapan, ataupun sikap yang  sudah membuatmu tersakiti. Sekarang bahagialah, sayang” kamu mengucapkan itu dengan lirih. Sangat lirih.
“tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku melakukan ini semua karena kemauanku. Dan saat ini, carilah kebahagiaanmu. Aku tentu sangat bahagia dengan rencana tuhan. Dan kini, kamu pun harus mendapatkan kebahagiaanmu” Aku menyahut tak kalah lirih. Berbagai kenangan bersamamu tiba-tiba saja berganti dengan apa yang aku alami satu tahun ini bersamanya. Bersama suamiku. Bersama imam dimasa depanku.

Aku rasa kini kamu benar-benar harus mencari kebahagiaanmu. Berbahagialah dengan siapapun yang akan menjadi jodohmu. Karena disini, akupun sudah berbahagia dengan suamiku.


The end **