**
This isn’t goodbye, even as I watch you
leave..
This isn’t goodbye, I swear I won’t cry..
Even as tears fill my eyes, I swear I won’t
cry..
(
What makes a man – Westlife )
Seminggu lagi tepat satu tahun
kepergian Fero, semenjak aku kehilangannya aku lupa caranya tersenyum, aku lupa
caranya bisa bahagia dengan sepenuh hati. Kini jessy meninggalkanku, ia kembali
kejakarta bersama Daniel. Yah ternyata Daniel harus mengambil alih
perusahaannya dijakarta. Walaupun disini ada Melly dan juga Ditya aku tetap
merasa kesepian. Ingin rasanya aku pergi kejakarta untuk mendatangi Fero di
peristirahatannya yang terakhir. Jujur saja aku sangat merindukan Fero, renyah
tawanya, lesung pipinya, gayanya yang sangat keren, dan juga sikapnya yang
menyenangkan.
“Rani, boleh aku
masuk?” Suara Ditya menggema dibalik pintu yang aku tutup rapat. Bicara tentang
Ditya hubungan kami semakin dekat, kadang ia mengajakku jogging,
berjalan-jalan, sampai makan malam berdua. Ditya juga rasanya sudah seperti
saudara kandungku, walaupun sampai saat ini yang aku ketahui hanya cerita
tentang kecelakaannya.
“masuk saja,
pintunya tidak terkunci” Jawabku, aku berpura-pura memainkan ponselku. Aku
membaca kembali pesan singkat yang mama Fero kirimkan untukku. Ia memintaku
untuk hadir diacara satu tahun kepergian Fero.
“kau sudah makan?”
Tanya Ditya. Aku mengangguk.
“kapan? Sepertinya
makanan masih terpampang rapih dimeja makan, dan menurut bibik kau memang belum
makan dari kemarin siang” Tutur Ditya, bagaimana aku napsu makan. Melihat nasi
saja aku sudah mual.
“aku sedang tidak
lapar” Jawabku singkat.
“kau ini
bagaimana, kalau punya masalah jangan disangkut pautkan dengan pola makan dong.
Kalau sakit bagaimana? Aku ambilkan ya? Atau mau aku suapin?” Goda Ditya,
melihat wajah ditya yang seperti itu tiba-tiba saja wajahku bersemu merah.
“aku bisa makan
sendiri. Lagian siapa bilang aku punya masalah? Sok tau sekali kau” Elakku,
Ditya tertawa Geli.
“dasar tukang
bohong. Tunggu disini, aku akan mengambilkan makanan untukmu” Tuturnya.
Beberapa menit kemudian ditya
kembali kekamarku dengan membawa piring yang penuh dengan makanan. Aku cukup
terharu, ternyata dia memperhatikanku.
“sini ayo aku suapi”
Ujarnya, ia duduk disebelahku dan sudah siap menyuapiku dengan makanan favorite
ku.
“aku bisa makan
sendiri Dit” Komentarku. Aku mengambil alih piring yang dipegang oleh Ditya.
“akhir-akhir ini
kau selalu melamun, sebenarnya ada apa?” Tanya Ditya, aku menaruh piring diatas
meja.
“melamun? Itu
perasaanmu saja. Aku baik-baik saja Ditya” Jawabku.
“Benarkah?
Baiklah, mungkin memang perasaanku saja” Tuturnya. ia kembali berkutat dengan
laptopku. Seperti biasa ia menggunakannya untuk bermain games.
“dua minggu lagi
aku harus kembali kejakarta. Ibu memintaku untuk kembali, ia bilang aku sudah
cukup lama merepotkan Tante tiwi.” Ucapan Ditya membuat makanan yang baru saja
aku telan kembali ke tenggorokan. Kaget? Tentu saja, hanya ditya yang aku punya
disini. Hanya dia yang membuatku lupa akan kesedihanku.
“haruskah kau
pergi? Lalu bagaimana denganku?” Gumamku pelan.
“Apa katamu?”
Tanya Ditya, aku menggeleng.
“tidak, aku tidak
berkata apa-apa” Elakku, sekilas raut kecewa ditunjukan oleh lelaki berambut
yang hampir panjang itu. Bagaimana sekarang? Ditya akan pergi Dari sini,
pertemuan kami memang tidak diharapkan, tapi kenapa sekarang aku harus
kehilangan orang yang –cukup- berharga untukku. Aku ---Ah entahlah aku sulit
menjelaskan perasaanku saat ini.
**
-author’s POV-
Sehari sebelum Ditya pergi ke
Jakarta, ia mengajak Rania untuk melewati satu hari bersamanya. Walaupun Ditya
menyadari banyak yang disembunyikan Rani darinya, tapi ia tetap memilih diam
sampai Rani siap untuk menceritakannya. Ditya kini mulai merasakan getaran lain
dalam hatinya pada Rani, perasaan ini ia rasakan sekitar beberapa bulan yang
lalu, tepat dimana ia mengajak gadis berambut lurus sebahu itu ke satu
restaurant favoritenya disini. Rania yang dibalut sebuah dress berwarna cream
dengan make up tipis cukup membuat hatinya berdebar. Membuat perasaannya itu
menjadi serba salah, bahkan saat sang gadis merangkul dirinya secara tiba-tiba
jantungnya seakan meloncat kesegala arah. Begitulah cinta, muncul secara
tiba-tiba. Ditya maupun Rania tidak pernah tau akan dipertemukan, apalagi untuk
jatuh cinta rasanya terlalu sulit untuk dibayangkan.
“Ditya. Kau jangan
lupa untuk mengabariku ya!” Ujar Rania saat sosok ditya menghilang, masuk
kedalam mobil jemputannya.
“aku pasti akan
mengabarimu sesampainya aku dijakarta. Jaga dirimu baik-baik. Jika ada
kesempatan aku akan kembali untuk menemuimu” Balas pria itu. Pria yang dibalut
polo shirt, celana jeans dan rambutnya yang mulai panjang ia ikat kebelakang.
Entah melihat Ditya yang seperti itu Rani malah melihat perbedaan yang sangat
jelas, Ditya adalah Ditya, bukan Fero ataupun orang lain. Mobil yang dikendarai
Ditya kini perlahan menghilang, ibu memeluk Rani dengan erat. Akankah Rani
kembali kehilangan seseorang yang –mungkin- dicintainya.
“ibu, kenapa Rani
menangis?” Tanya Melly, Rani mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Rani hanya sedang
kesepian sayang” jawab ibunya diplomatis. Ranib mengulas sedikit senyuman,
hanya sedikit.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking