Menunggu..
Sebuah kata yang cukup membosankan untuk didengar,
atau malah untuk dijalankan. Mengapa aku sebut membosankan? Karena aku telah
menjalankan itu selama sekitar enam tahun. Menunggu apa yang aku rasa harus ku
tunggu. Namun tidak jelas akan kepastiannya.
Tahukah kamu?
Tidak ada hal yang lebih
membosankan daripada harus menunggu. Menunggu tanpa kepastian. Menunggu hal
yang buram, yang tidak jelas bahkan semua pun seperti warna abu-abu. Tapi, aku
terus dan tetap bertahan.
Apakah kamu tau, perasaan kuat apa yang
mendorongku terus bertahan untukmu? Tahukah kamu perasaan apa yang kuat untuk
terus berdiri tanpa mengenal lelah? Perasaan ini yang aku sebut Cinta.
Cinta.
Satu perasaan tidak berwujud, tapi sangat
berharga. Perasaan itu yang mendorongku untuk tetap menunggu dirimu. Tidak
perduli bagaimana akhirnya. Aku tetap berpegang teguh pada janjimu. Janji akan
setia padaku, dan akan kembali menemuiku nanti.
Janji itu. Ingatkah kamu. Malam dimana sehari
sebelum kepergianmu, kamu berjanji padaku. Disaksikan oleh cahaya bulan dan
bintang yang gemerlap menghiasi angkasa. Ingatkah kamu. Malam itu kamu
mengucapkan janji yang membuatku tidak kuat untuk menahan air mata yang
berdesakan ingin keluar? Ingatkah kamu. Malam itu kamu terus merengkuhku
kedalam pelukanmu. Menenangkan hati dan jiwaku yang resah atas kepergianmu.
Ingatkah kamu.
Malam itu kamu berjanji akan
terus ada untukku. Karena katamu jarak tidak akan pernah membuat kita terpisah?
Tapi nyatanya? Kamu menghilang. Bagai matahari yang tergusur oleh awan kelabu
dan air hujan. Bagai tulisan pasir yang terhempas oleh ombak.
Kamu seakan sirna. Seakan hilang ditelan bumi.
Tahukah kamu? Aku masih setia berkunjung ke tempat dimana pertama kali kamu
bilang kamuu mencintai aku. Aku masih berdiri tegak. Aku tidak perduli apa yang
mereka katakan tentang kamu. Yang aku tau, kamu tidak seperti yang mereka
katakan. Yah. Itu yang masih aku percayai. Sampai saat ini.
Satu tahun.
Aku masih berdiri dengan tegak. Masih
mengharapkan kehadiranmu. Ditempat yang sama. Menunggu kamu. Di waktu yang
pernah kamu utarakan dulu. Hari ini adalah hari jadi kita. Dan lagi-lagi dulu
kamu berjanji akan menemuiku saat hari special kita tiba. Aku terus menunggu.
Tahukah kamu?
Aku datang sebelum matahari terbit, dan aku pulang setelah lewat
tengah malam. Tapi, kamu tidak kunjung datang. Bahkan tidak ada tanda-tanda
kedatanganmu sama sekali. Apakah kamu lupa? Atau malah kamu memang sengaja
tidak ingin menemuiku? Atau mungkin kamu terlalu sibuk? Yah. Mungkin kamu
memang terlalu sibuk. Mungkin aku terlalu percaya kepadamu.
Tahun-tahun berikutnya.
Selamat hari jadi yang kesekian kalinya. Tahukah
kamu? Aku tetap merayakan hari jadi kita. Ditemani lilin-lilin kecil yang aku
hias untuk menggantikan sinar lampu. Dan tidak lupa aku membawa sepotong kue
tart dan lilin berbentuk angka sesuai umur hubungan kita. Tahukah kamu? Aku
selalu meminta pada tuhan untuk membawamu kembali ketempat ini. membawamu
kembali kedalam pelukanku. Membawamu kembali dikehidupanku yang nyata. Namun
sepertinya sia-sia.
Lagi-lagi aku meniup lilin dan memakan kue itu
sendirian. Menatap indahnya bulan dan bintang ditemani beberapa butiran air
mata yang terus menetes. Tahukah kamu? Melewati hal seperti ini sangat
menyakitkan untukku. Tidakkah kamu mengetahuinya? Apakah disana kamu
merindukanmu? Apakah disana kamu mengingatku? Apa disetiap doamu masih terselip
namaku? Seperti yang selama ini aku lakukan. Seperti aku yang selalu
mengingatmu, merindukanmu, bahkan selalu menyebut namamu disetiap hembusan
nafasku.
Apakah aku ini masih penting? Hal itu yang
selalu terucap dalam ingatanku. Apakah aku ini masih cukup pantas untuk
diingat? Tidak. Ku rasa itu jawaban yang pantas. Aku tidak cukup atau bahkan
memang sangat tidak pantas untuk diingat. Aku mengerti.
Kepergianmu beberapa tahun yang lalu tentu bukan
keinginanmu. Itu keinginan orang tuamu. Mereka menginginkan kita berpisah
bukan? Itu sebabnya mereka mengirimkan kamu ke negeri yang entah berantah. Ayah
dan ibumu tidak menyetujui hubungan kita. Hanya karena aku ini bukan orang yang berada seperti keluargamu. Mereka
menilaiku hanya berdasarkan materi. Mungkin aku memang tidak pantas. Sangat
tidak pantas.
Aku mencintaimu. Bukan karena kamu orang yang
kaya raya. Bukan karena alasan-alasan lainnya. Memangnya kenapa kalau kamu itu
orang kaya atau miskin? Aku tidak harus memperdulikannya bukan?
Kita bersatu karena cinta. Atas dasar perasaan
yang membuat kita bahagia. Kamu mencintaiku dan begitupun sebaliknya. Atau
malah aku lebih mencintai kamu. Lebih dari perasaan orang lain terhadapmu.
Namun, keputusan orang tuamu sepertinya membuat
kamu menyerah. Berhenti mencintaiku. Atau mungkin janji yang pernah kamu
ucapkan hanya sekedar basa-basi agar aku tidak tersakiti. Kalau memang iya,
kamu salah besar. Kepura-puraanmu membuat aku jauh lebih terpuruk dan tersakiti.
Puaskah kamu?
Puaskah kamu melihat kehancuran yang aku alami
saat ini? puaskah kamu melihat aku tidak bisa lagi mencintai orang lain?
Puaskah kamu membuatku terbang dan akhirnya terhempas? Puaskah kamu?
**
Enam tahun setelah kepergianmu.
Aku kembali mengunjungi tempat ini dengan kebaya
berwarna merah. Tahukah kamu? Hari ini adalah hari pertunanganku. Aku sadar
tidak ada lagi yang bisa aku harapkan. Tidak ada lagi hal yang harus membuatku
tetap menunggumu. Semua telah sirna. Aku sudah menguburkan segala angan-angan
indah bersama-mu.
Pria itu. Dia adalah sahabat kita.
Ingatkah
kamu? Dia ternyata memendam perasaan cinta kepadaku. Menurutku, tidak ada yang
salah dengan melepaskanmu dan menjalani lembaran baru bersamanya. Mungkin kini
aku sudah merasa lelah mencintaimu. Atau mungkin, kini saatnya aku merasakan
indahnya dicintai dengan tulus oleh orang lain.
Dia adalah sahabatku, tentu sahabatmu juga. Dan
menurutku tidak cukup susah untuk mencintainya. Yah, hanya memerlukan waktu.
Seiring berjalannya waktu aku tentu akan mencintainya dan melupakan kenangan
kita.
Tangan halus nan kekar merangkul pinggangku,
dengan senyuman khasnya ia mengajakku pulang. Jam sudah menunjukan pukul
delapan. Satu jam lagi aku akan meresmikan pertunanganku. Semoga jalan ini
memang yang terbaik. Untukku dan untukmu yang sudah meninggalkanku tanpa jejak.
Pertunangan itu berjalan sangat lancar. Senyum
merekah dari wajah semua yang menyaksikannya. Dan tahukah kamu, aku melihat
sosok ibumu datang ke pesta pertunanganku dengannya. Ia terlihat sangat
bahagia. Aku tau, ini memang yang ia inginkan.
Dan Hari pernikahan itu tiba.
Satu tahun setelah pertunangan, dia,
keluarganya, dan juga keluargaku merencanakan pernikahan tersebut. Aku tidak
menolak. Bukan karena aku pecundang atau wanita yang tidak berani. Namun satu
hal yang membuatku kuat untuk berbahagia bersamanya. Aku mulai mencintainya.
Perhatiannya, cinta kasihnya, dan semua yang ia
lakukan tulus untuk membuatku bahagia. Dan itu adalah point penting dalam
hidupku. aku sadar, sudah tidak ada gunanya menunggumu. Menunggu harapan kosong
yang pernah kau tebar padaku. Dan aku sadar. Betapa bodohnya aku terus menunggu
tanpa ada kepastian.
Kamu menang.
Kamu pemenangnya. Puaskah kamu sudah membuatku
seperti ini? tuhan selalu menyayangi umatnya yang selalu sabar, bukan? Dan
sekarang adalah saatnya tuhan menunjukan jalan kebahagiaan untukku.
Kemeja putih, Dasi kupu-kupu, Jas abu-abu,
Celana bahan hitam.
Gaun pengantin putih, heels berwarna gading,
make-up natural.
Hari pernikahan itu benar-benar tiba. Janji suci
itu pun terucap. Janji akan menjalani hidup bersama, selamanya. Janji akan
saling setia, dan janji akan tetap bersama walaupun badai menghadang. Aku
bahagia. Air mata haru turun berdesakan. Dia mengecup singkat bibirku. Membuat
seluruh tamu tersenyum ikut merasakannya.
Tahukah kamu apa yang aku rasakan?
Aku bahagia. Sangat bahagia. Ternyata ini jauh
lebih membahagiakan dibanding saat kamu menyatakan perasaanmu kepadaku. Kamu
tau? Dia benar-benar membuatku merasa sempurna. Dia memperlakukanku layaknya
ratu.
Dihari pernikahan ini, aku menatap bahagia
kepada para tamu. Para teman-teman yang datang dan menanyakan bagaimana bisa
aku menikah dengannya. Aku bingung. Tetapi kemudian aku bilang, ini semua
rahasia tuhan.
Dan hal yang tak kusangka. Kamu hadir.
Kamu
hadir dalam balutan jas yang membuat ketampananmu menyeruak keluar. Kamu
menghampiri aku dan suamiku. Mengucapkan kata selamat serta memberikan kado
yang cukup besar. Kali ini aku berterimakasih. Berterimakasih dengan tegas.
Karena kamu menerima akhir bahagia yang aku rasakan.
“maaf. Maaf untuk beberapa tahun membuatmu
menunggu. Maaf untuk ucapan, ataupun sikap yang
sudah membuatmu tersakiti. Sekarang bahagialah, sayang” kamu mengucapkan
itu dengan lirih. Sangat lirih.
“tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku melakukan
ini semua karena kemauanku. Dan saat ini, carilah kebahagiaanmu. Aku tentu
sangat bahagia dengan rencana tuhan. Dan kini, kamu pun harus mendapatkan
kebahagiaanmu” Aku menyahut tak kalah lirih. Berbagai kenangan bersamamu
tiba-tiba saja berganti dengan apa yang aku alami satu tahun ini bersamanya.
Bersama suamiku. Bersama imam dimasa depanku.
Aku rasa kini kamu benar-benar harus mencari
kebahagiaanmu. Berbahagialah dengan siapapun yang akan menjadi jodohmu. Karena
disini, akupun sudah berbahagia dengan suamiku.
The end **
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking