I always needed time on my own..
I never thought I’d need there when I cry..
When you walk away I count the steps that
you take..
Do you see how much I need you right now?
(
When Your Gone – Avril Lavigne)
***
Sudah lewat dari setengah tahun aku,
Jessy dan Daniel tinggal dirumah Ibu. Sosok ayah baru dalam keluarga ini lebih
baik dan lebih bertanggung jawab. Ia menerima aku dan juga Jessy sebagai
anaknya sendiri. Bahkan dengan adanya Melly aku jadi lebih bersemangat. Aku
tidak melupakan fero sepenuhnya, hanya saja sedikit tidak memikirkannya.
Seperti halnya saat kami belum bertemu.
“Ibu? Kau mau
kemana? Kenapa rapih sekali?” Tanyaku, kulihat ibu sudah berdandan rapih
bersama ayah disebelahnya.
“ibu dan ayah mau
menjemput keponakan ayahmu. Dia baru saja sembuh dari komanya dan ingin tinggal
disini” Jawab Ibu. Aku meletakan majalah yang sedang kubaca.
“oh ya? Siapa
dia?” Tanyaku.
“nanti juga kau
akan tau, syg. Kalau begitu ayah dan ibu pamit dulu. Nanti kau jangan lupa
menjemput Melly ya” Ucap Ayah, aku mengangguk. Kini ayah memfasilitasi aku
sebuah mobil, Honda jazz berwarna pink metalik. Itu karena aku bertugas
mengantar jemput Melly, sementara Jessy dan Daniel sedang mengurus beberapa
keperluan dijakarta. Dan tinggallah aku sendiri. Aku bersyukur, kepindahanku
kesini membuatku bisa menata kembali hidupku. Yah, seperti yang Jessy bilang,
kehilangan sosok penopang hidup bukan akhir dari segalanya. Kini aku cukup
mengingat nama Fero, mungkin mengukirnya didalam hati saja. Dan semoga saja kau
berbahagia disana. Jam sudah menunjukan pukul sebelas siang, dan seperti biasa
aku harus sudah bersiap untuk menjemput Melly disekolahnya. Anak kecil itu juga
mengambil banyak andil dalam perubahan sikapku. Setiap aku merasa sedih, ia
selalu mengajakku bermain. Melly pun mempunyai paras cantik, sebenarnya ia
lebih mirip denganku dan jessy. Karena pada dasarnya melly mirip sekali dengan
ibu. Mempunyai rambut ikal berwarna coklat gelap, dan mata yang sama. Aku
sendiri yang mempunyai mata berwarna coklat lebih sering memakai softlens berwarna
biru.
Baru sekitar lima belas menit aku
sampai disekolah Melly, anak itu sudah berlari sambil melambaikan tangan
kearahku.
“Kak Raniiiii, aku
kira kau tidak akan menjemputku” Ujar si kecil, aku berlutut agar terlihat
sejajar dengan anak ini.
“lalu kalau aku
tidak menjemputmu, siapa yang akan menjemputmu? Memangnya kau berani jika
pulang sendiri?” Sindirku, anak ini tertawa kecil.
“apakah kak Ditya
sudah datang, Rani?” Tanya Melly lagi, Ditya? Siapa dia?
“Aku tidak
mengenal Ditya, siapa dia?” Tanyaku kembali, kini aku sedang menggendong melly
menaiki mobil.
“dia sepupu kita,
Raniiii. Orangnya tampan dan baik sekali. Dia sering membelikan aku ice cream”
Jawab Melly.
“mana yang lebih
baik? Aku atau Ditya?” Tanyaku menggoda.
“kalian sama
baiknya. Siapa tau kalian berjodoh” ucapnya senang, anak ini sudah seperti
orang dewasa saja.
Sebelum pulang Melly memintaku untuk
berhenti di pinggir jalan. Ia memintaku membelikannya ice cream dan juga
beberapa kue untuk ia makan nanti sesampainya dirumah. Jujur saja aku merasa
penasaran dengan sosok Ditya.
Sesampainya dirumah ternyata ibu dan
juga ayah belum pulang, rasa kecewa sedikit ada dalam hatiku. Ditambah kini
Melly malah sibuk bermain dengan bik ijah. Baiklah, mungkin lebih baik aku
tidur siang saja. Jessy mengabari ia baru akan pulang seminggu lagi. Tidak ada
Jessy membuatku sedikit kesepian. Kakakku yang satu itu memang sering
menyebalkan, tapi tak jarang aku merindukannya saat ia pergi.
~~
Jam makan malam sudah tiba, ibu dan
ayah pun sepertinya sudah pulang. Tapi karena terlalu lelah maka aku putuskan
untuk tidur sampai bik ijah mengetuk pintu untuk menyuruhku makan malam. Aku
mengangguk dan meminta sedikit waktu untuk mandi dan bersiap-siap.
Selesai mandi dan
berganti pakaian aku segera turun, ada ayah, ibu dan juga Melly. Dimana sosok Ditya?
Bukankah seharusnya ia ada disini, makan malam bersama kami?
“Rani, kenapa kau
terdiam disitu? Kemarilah sayang” Ujar Ibu, aku mengangguk.
“bukankah ayah dan
ibu bilang akan menjemput seseorang? Dimana dia bu?” Tanyaku, ibu mengulum
senyum.
“Kak Rani sudah
tidak tahan mau berkenalan dengan Kak Ditya ya?” Goda Melly, aku tersipu malu.
“Ditya sepertinya
masih beristirahat, maklum saja. Semenjak kecelakaan ia menjadi pemurung.
Ditambah orang yang bertabrakan dengannya malah meninggal” Jawab Ibu. Jadi Ditya
juga korban kecelakaan?
“mungkin besok kau
akan berkenalan dengannya Rani. Sekarang nikmatilah makan malammu” Tutur Ayah,
aku mengangguk.
Selesai Makan malam aku naik kembali
kekamarku. Ku lihat seseorang sedang duduk dibalkon lantai atas. Apakah dia
yang bernama Ditya? Dengan menggenggam gelas berisi air mineral aku
menghampirinya.
“hey” Sapaku,
lelaki itu menoleh kearahku. Untuk beberapa saat aku terpaku. Melihat lelaki
itu memandangku, kenapa tatapan matanya begitu mirip dengan fero? Kenapa raut
wajah dan juga senyumannya mirip dengan fero?
“Hey juga”
Balasnya sambil tersenyum. Ya tuhan, senyuman dan mata itu benar-benar mirip
dengan Fero.
“ka..kau yang
bernama Ditya?” Tanyaku memberanikan diri. Kini hatiku serasa mencelos, aku
merasa mata itu benar-benar milik Fero.
“ya, kau pasti Rania
anak tante Tiwi? Benarkan?” Tanyanya. Dan aku bersumpah, caranya berbicara pun
sangat mirip dengan Fero.
“ya.. kau benar.
Aku Rania, Rania Natasya” Jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Ditya Nuraga, kau
bisa memanggilku Ditya. Senang berkenalan denganmu” Balasnya. Aku tersenyum.
- Ditya’s POV-
Melihat gadis ini, kenapa hatiku
begitu bergetar. Tidak pernah kurasakan getaran yang benar-benar hebat seperti
ini. apa ini karena hati yang aku gunakan bukanlah hatiku? Saat aku kecelakaan
beberapa bulan yang lalu aku mendapatkan kerusakan di bagian mata dan juga
hati. Semua rusak. Dan ternyata yang menabrakku meninggal setelah beberapa hari
dirawat. Pihak keluarganya memberi izin untuk mendonorkan kornea mata dan juga
hatinya. Itu sebagai rasa penyesalan. Apalagi saat gadis didepanku ini
menyebutkan namanya, kenapa hati ini merasa terenyuh sekali? Apa yang terjadi
sebenarnya?
“Ditya? Kenapa kau
melamun seperti itu?” Tanya Rani, aku menggeleng cepat.
“tidak apa-apa.
Hanya saja melihatmu membuatku sedikit—ah lupakan” Ujarku.
“sebaiknya kau
beristirahat. Ibuku bilang kau baru saja sembuh kan? Udara malam juga tidak
begitu baik untuk tubuh.” Nasihatnya, aku mengangguk dan meninggalkannya yang
juga mau masuk kamar.
-back to Rania’s
POV-
Benar saja, sosoknya semakin mirip
dengan Fero. Kenapa disaat aku sudah sedikit melupakan bagaimana sakitnya
kehilangan sosok yang begitu mirip dengan Fero hadir disini. Tepat
dikehidupanku. Apakah ini rencanamu tuhan? Aku kembali mengingat dimana Fero dengan
beraninya mengajakku berteman, padahal sebelumnya kami tidak saling mengenal.
Ia selalu membuatku merasa sebal dengan tingkahnya. Bahkan dulu aku selalu
berfikir aku tidak akan pernah membutuhkannya. Tapi kenyataannya kini aku
benar-benar membutuhkannya. Bukan hanya untuk berbagi kesedihan, tetapi juga
berbagi kebahagiaan. Dan kini aku kembali terpuruk, usaha ku untuk bangkit
beberapa bulan terakhir kandas hanya karena hadirnya sosok lelaki yang
benar-benar membuatku teringat kembali pada Fero.
Aku benar-benar terpuruk kembali,
mengingat kembali kenangan dimana aku selalu butuh waktu sendirian. Aku selalu
bertingkah seolah aku orang yang paling kesepian, dan saat itu pula Fero hadir
menawarkan sejuta warna kebahagiaan, awalnya aku mengira ia hanya akan mempermainkanku,
menyakitiku, dan sama sekali tidak serius denganku. Tapi? Berkali-kali aku
menolak, ia tetap bertahan. Bertahan sampai tiang pendirianku hancur tidak
tersisa. Dan kini aku kembali terhempas saat mengetahui kenyataan kalau fero
kekasih yang paling aku cintai kini hanya tinggal nama. Fero, apa kau tau aku
membutuhkanmu sekarang.
~~~
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking