Dinsdag 31 Desember 2013

I Knew I Loved You -Chapter5-


**
This isn’t goodbye, even as I watch you leave..
This isn’t goodbye, I swear I won’t cry..
Even as tears fill my eyes, I swear I won’t cry..
( What makes a man – Westlife )

            Seminggu lagi tepat satu tahun kepergian Fero, semenjak aku kehilangannya aku lupa caranya tersenyum, aku lupa caranya bisa bahagia dengan sepenuh hati. Kini jessy meninggalkanku, ia kembali kejakarta bersama Daniel. Yah ternyata Daniel harus mengambil alih perusahaannya dijakarta. Walaupun disini ada Melly dan juga Ditya aku tetap merasa kesepian. Ingin rasanya aku pergi kejakarta untuk mendatangi Fero di peristirahatannya yang terakhir. Jujur saja aku sangat merindukan Fero, renyah tawanya, lesung pipinya, gayanya yang sangat keren, dan juga sikapnya yang menyenangkan.
“Rani, boleh aku masuk?” Suara Ditya menggema dibalik pintu yang aku tutup rapat. Bicara tentang Ditya hubungan kami semakin dekat, kadang ia mengajakku jogging, berjalan-jalan, sampai makan malam berdua. Ditya juga rasanya sudah seperti saudara kandungku, walaupun sampai saat ini yang aku ketahui hanya cerita tentang kecelakaannya.
“masuk saja, pintunya tidak terkunci” Jawabku, aku berpura-pura memainkan ponselku. Aku membaca kembali pesan singkat yang mama Fero kirimkan untukku. Ia memintaku untuk hadir diacara satu tahun kepergian Fero.
“kau sudah makan?” Tanya Ditya. Aku mengangguk.
“kapan? Sepertinya makanan masih terpampang rapih dimeja makan, dan menurut bibik kau memang belum makan dari kemarin siang” Tutur Ditya, bagaimana aku napsu makan. Melihat nasi saja aku sudah mual.
“aku sedang tidak lapar” Jawabku singkat.
“kau ini bagaimana, kalau punya masalah jangan disangkut pautkan dengan pola makan dong. Kalau sakit bagaimana? Aku ambilkan ya? Atau mau aku suapin?” Goda Ditya, melihat wajah ditya yang seperti itu tiba-tiba saja wajahku bersemu merah.
“aku bisa makan sendiri. Lagian siapa bilang aku punya masalah? Sok tau sekali kau” Elakku, Ditya tertawa Geli.
“dasar tukang bohong. Tunggu disini, aku akan mengambilkan makanan untukmu” Tuturnya.
            Beberapa menit kemudian ditya kembali kekamarku dengan membawa piring yang penuh dengan makanan. Aku cukup terharu, ternyata dia memperhatikanku.
“sini ayo aku suapi” Ujarnya, ia duduk disebelahku dan sudah siap menyuapiku dengan makanan favorite ku.
“aku bisa makan sendiri Dit” Komentarku. Aku mengambil alih piring yang dipegang oleh Ditya.
“akhir-akhir ini kau selalu melamun, sebenarnya ada apa?” Tanya Ditya, aku menaruh piring diatas meja.
“melamun? Itu perasaanmu saja. Aku baik-baik saja Ditya” Jawabku.
“Benarkah? Baiklah, mungkin memang perasaanku saja” Tuturnya. ia kembali berkutat dengan laptopku. Seperti biasa ia menggunakannya untuk bermain games.
“dua minggu lagi aku harus kembali kejakarta. Ibu memintaku untuk kembali, ia bilang aku sudah cukup lama merepotkan Tante tiwi.” Ucapan Ditya membuat makanan yang baru saja aku telan kembali ke tenggorokan. Kaget? Tentu saja, hanya ditya yang aku punya disini. Hanya dia yang membuatku lupa akan kesedihanku.
“haruskah kau pergi? Lalu bagaimana denganku?” Gumamku pelan.
“Apa katamu?” Tanya Ditya, aku menggeleng.
“tidak, aku tidak berkata apa-apa” Elakku, sekilas raut kecewa ditunjukan oleh lelaki berambut yang hampir panjang itu. Bagaimana sekarang? Ditya akan pergi Dari sini, pertemuan kami memang tidak diharapkan, tapi kenapa sekarang aku harus kehilangan orang yang –cukup- berharga untukku. Aku ---Ah entahlah aku sulit menjelaskan perasaanku saat ini.
**
-author’s POV-
            Sehari sebelum Ditya pergi ke Jakarta, ia mengajak Rania untuk melewati satu hari bersamanya. Walaupun Ditya menyadari banyak yang disembunyikan Rani darinya, tapi ia tetap memilih diam sampai Rani siap untuk menceritakannya. Ditya kini mulai merasakan getaran lain dalam hatinya pada Rani, perasaan ini ia rasakan sekitar beberapa bulan yang lalu, tepat dimana ia mengajak gadis berambut lurus sebahu itu ke satu restaurant favoritenya disini. Rania yang dibalut sebuah dress berwarna cream dengan make up tipis cukup membuat hatinya berdebar. Membuat perasaannya itu menjadi serba salah, bahkan saat sang gadis merangkul dirinya secara tiba-tiba jantungnya seakan meloncat kesegala arah. Begitulah cinta, muncul secara tiba-tiba. Ditya maupun Rania tidak pernah tau akan dipertemukan, apalagi untuk jatuh cinta rasanya terlalu sulit untuk dibayangkan.
“Ditya. Kau jangan lupa untuk mengabariku ya!” Ujar Rania saat sosok ditya menghilang, masuk kedalam mobil jemputannya.
“aku pasti akan mengabarimu sesampainya aku dijakarta. Jaga dirimu baik-baik. Jika ada kesempatan aku akan kembali untuk menemuimu” Balas pria itu. Pria yang dibalut polo shirt, celana jeans dan rambutnya yang mulai panjang ia ikat kebelakang. Entah melihat Ditya yang seperti itu Rani malah melihat perbedaan yang sangat jelas, Ditya adalah Ditya, bukan Fero ataupun orang lain. Mobil yang dikendarai Ditya kini perlahan menghilang, ibu memeluk Rani dengan erat. Akankah Rani kembali kehilangan seseorang yang –mungkin- dicintainya.
“ibu, kenapa Rani menangis?” Tanya Melly, Rani mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

“Rani hanya sedang kesepian sayang” jawab ibunya diplomatis. Ranib mengulas sedikit senyuman, hanya sedikit.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking