Maandag 08 Julie 2013

Tanpa Arti

Karya Ulfa Tapani

Gemuruh suara mesin mobil menggetarkan kaca rumah. Mengusik kesibukan dua benda kayu yang sedang berbincang di ruangan.
“Siapa yang datang?”
“Entahlah, paling juga Ibu-ibu yang mau arisan..”
“Ohh,, untung aku sudah mempercantik diri, “
“Awas, awas, sepertinya mereka mau mendekati kita, “
“Ah, lihatlah badan mereka besar-besar, aku yakin bokongnyapun besar, ahaha,, surprize untukmu !!”

Aku terdiam. Ah, sial sekali aku hari ini harus kedatangan tamu seperti mereka, andai aku punya kaki yang bisa berlari, tak akan ada ragu dalam benakku untuk melarikan diri sekarang juga, menit ini, detik ini, secepatnya!
“Tunggu, sebentar lagi mereka akan memujiku ..”
“Tidak aneh lagi, kau jangan menyombongkan diri, aku yang lebih berguna bagi mereka ..”
“O, ya ? haha... Mereka senang, kau menderita, bukankah begitu? Haha ..Bertahun-tahun aku berdampingan denganmu, bertahun-tahun juga aku saksikan kesengsaraanmu, aku tak pernah melihatmu terhias cantik sepertiku, dengan vas yang berisi bunga segar, dengan makanan cemilan yang lezat-lezat, minuman segar, dan hidanganmu apa? Bokong orang ya? Hahaha..”
 
Tanpa Arti
Aku tak pernah mau menanggapi cercaannya. Buat apa aku balas, toh, dia selalu menjatuhkanku, meja yang sombong.
“Aduhai, cantik sekali meja ini dengan hiasan bunga segar, darimana kau dapatkan bunga ini? Cantik sekali, aku suka..”
Tak aneh, sungguh tak aneh bagiku mereka mengucapkan hal itu. Mungkin untuk yang kesekian ratus kalinya. Sejurus kemudian, Ibu-ibu lain datang berdesakkan memasuki rumah. Rupanya, badan mereka yang besar-besar itu membuat mereka kesulitan memasuki rumah yang memang memiliki ambang pintu cukup kecil itu. Aku tahu, bokong-bokong mereka yang besar itu tak lama lagi akan menindihku. Satu..dua..dan,, aww,, benar saja , dalam sekejap tubuhku tertutupi bokong-bokong itu.

Salah seorang dari Ibu-ibu yang menindih tubuhku ini sekejap mengangkat bokongnya sedikit dan terdengar suara “dduuuttt..”. Dalam sekejap, udara yang tadinya begitu segar, mendadak tercemari dengan bau yang sangat sangat menusuk-nusuk hidung. Mereka yang duduk agak jauhpun mulai menutup hidungnya. Bayangkan, jarak yang jauh pun membuat mereka batuk-batuk dan hampir muntah, dan aku? Jarak yang sangat sangat dekat, apa kata yang lebih daripada mual? Aku yang paling merasakan begitu busuknya bau itu. Si Ibu hanya nyengir, sungguh , wajah tanpa dosa! Kalau saja aku punya mulut, akan kumuntahkan seluruh isi tubuhku ! Sial !
“Haha. Aku tak menyangka Ibu itu akan melakukan hal yang konyol, sangat konyol !Bersyukurlah karena kau tak punya hidung yang tajam untuk menghirup udara bau itu. Kursi tua yang malang..”
“Manusia memang tak tau etika kawan, bukankah agama mereka mengajarkan tentang sopan santun? Tahukah kau meja, pasanganku, bahwa sopan santun itu sangat berharga di mata Tuhan, setidaknya, mereka tahu adab bertamu, aku heran dengan manusia ini, mereka belajar ilmu agama tapi tidak mengamalkannya.”
“Ya, kau memang benar. Ah, aku tak peduli dengan mereka, toh, aku tak rugi, kau yang rugi kan? Kau selalu kena batunya! Haha “
“Kau memang seperti itu, hai meja sungguh aku hanya ingin berbagi ilmu denganmu”

Tak pernah pasanganku ini memperhatikan [endapatku, tapi taka pa-apa setidaknya aku dapat membagi ilmuku padanya, meski ia tak pernah peduli. Aku mengintip keluar jendela, di sana banyak anak-anak kecil yang sedang memetik daun-daun sembarangan.
“Lihatlah anak-anak itu!”
“Memangnya kenapa? Ada yang salah?”
“Tentu saja, lihat, mereka memetik daun-daun itu sembarangan, untuk apa coba? Mereka hanya merobek-robek daunnya, kemudian membuangnya begitu saja, mereka belum puas kalau tanah itu belum jadi guunung sampah! “
“Ah, sudahlah, kau selalu seperti itu, biarkanlah mereka melakukan hal yang mereka inginkan. Mereka yang akan menanggung akibatnya sendiri. “
“Tapi, kenapa mereka tak pernah memperhatikan kita? Lingkungan mereka? Apa kau tidak sedih? Hah? Lagian, kalau datang bencana, seperti banjir, kita juga akan kena kan? Bukan hanya mereka, mereka bisa melarikan diri, tapi kita? Mereka tak akan peduli pada kita, “
“Kau benar juga. Tapi apa daya, kita tak mungkin bisa berbicara kepada mereka.”
“Tuhan punya kehendak lain untuk itu!”

Diam. Sang meja hanya diam. Kuharap itu sebagai isyarat pengertiannya pada perkataanku. Bising. Suasana rumah ini bagaikan pasar. Perbincangan-perbincangan saling sahut-menyahut. Kebanyakan membicarakan “Dimana kau membeli sepatu itu?” “Berapa harganya?” “Dapat diskon gak?”
“Ah, bising sekali suasana rumah ini!” sahut meja.
“Ya, kau benar, mereka itu hanya mengumpulkan dosa di sini. Dari tadi, tak kudengar tak satupun yang membicarakan agama. Mungkin seperti “Kapan ya kita dapat melaksanakan tablig akbar di kampong kita?” “Pengajian rutin, dan sebagainya.” Padahal itu akan sangat berguna bagi mereka. Sesungguhnya mereka di sini itu untuk menjalin tali silaturahmi, bukan untuk menggunjingkan orang atau membicarakan hal yang tak penting. Sungguh sia-sia pertemuan ini jika hanya akan merajut dosa tanpa membersihkannya.”
“Hmm, hmm, terus saja kau berceramah seperti itu, sekeras apapun, merekea tak akan bisa mendengarnya!”
“Tunggu saja, Tuhan pasti akan memberikan isyaratnya lewat kita, sampai manusia-manusia itu sadar.”
“Iya, iyalah, terserahmu saja!”
“Lihat itu, anak-anak itu masuk, “
“Wah,, lihat yang satu itu, badannya besar sekali, pipinya bergoyang-goyang kalau ia berlari, tenaganya kuat sekali, awass hati-hati, bahaya mengancammu ! kau kan sudah tua,, bisa jadi, “
“Apa??”
“Tidak ah, tidak jadi..” kata meja sembil tersenyum sinis.

Anak-anak itu berlarian kesana-kemari, membuat suasana ini berubah, yang tadinya mirip suasana pasar, sekarang malah mirip suasana Perang Dunia. Suara-suara anak ini menggema, ke sudut-sudut ruangan, benda-bergetar karena injakan mereka, terutama anak gendut itu. Tidak, aku berada di rumah ini bertahun-tahun, dan memang sekarang aku sudah tua, tubuhku suka bergoyang kalau diduduki dan bisa saja riwayatku tamat kalau sampai anak gendut itu menginjakku.
“Iya, awas !! sembunyi di sana! Lari! Wah, seru juga memperhatikan anak itu. Hei, kursi tua, kau tahu kan perbedaan kita? Mereka lebih suka mendekatimu daripada aku, mereka tak’kan menyakitiku karena kalau mereka menyakitiku, mereka akan terima akibatnya. Kulit mereka akan membiru setelah mendapay hantaman keras, dari sudut-sudut tubuhku!”
“Kita memang berbeda, tapi kita harus saling mengisi kawan. Tuhan, menciptakan kita berpasang-pasangan, kursi dengan meja, buku dengan raknya, lemari dengan baju, dan tak ayal mereka saling mengisi kekosongan. Tak maukah kau bersanding denganku? Selama bertahun-tahun aku bersamamu, berusaha membuatmu menjadi meja yang berwibawa di mata manusia, menjadi sosok benda mati yang berguna. Kita punya daya guna, tanpa kita, mereka, manusia, tak akan pernah sejahtera, mereka tak akan bisa menulis dengan nyaman kalau tidak ada meja, mereka tak akan bisa duduk nyaman kalau tidak ada kursi. Berterimakasihlah kepada Tuhan yang telah mentakdirkan kita menjadi makhluk yang berguna bagi setiap manusia..”
“Aaarrgghhtttt, kursi tua! Tak bisakah kau diam sehari saja? Tak sadarkah kau setiap menit selalu melontarkan kata-kata yang klise, menyangkut manusia yang tidak bisa menjaga kita, li8ngkungannya. Harus berapa kali aku bilang? Sekeras apapun kau bicara, mereka tak akan bisa mendengar kita, memperhatikan kita, kau tahu itu kan? Dasar kursi bodoh !”
“Lalu, apa yang kita bisa lakukan agar mereka sadar? Hah? Selain isyarat kepada mereka,”
“Isyarat apa?? Jadi kau itu inginnya apa? Hah? Ingin kau ini dibangga-banggakan? Kau syirik kan kepadaku??”
“Astagfirulloh, syirik itu perbuatan syetan! Aku tak pernah merasa seperti itu, aku terima takdirku untuk diduduki, dikentuti, diinjak-injak, aku tak pernah mengeluh, selama ini aku hanya ingin memberikan petuah kepadamu agar kamu menjadi makhluk yang pandai member isyarat, Tuhan tahu apa yang kita rasakan, andai kau merasakan apa yang aku rasakan, apa yang akan kamu lakukan selain memberi isyarat pada manusia agar menjaga kita dengan baik??”
“Bertahun-tahun aku bersamamu, hany apetuah dan petuah yang kau berikan tak membuatku mengerti apa arti sebuah isyarat, penghuni rumah ini sudah sering mengotori kita tapi apa yang bisa kita lakukan? Aku cape, kalau haru terus mendengar ceramahanmu !!”

Diam. Mungkin dengan cara ini aku menanggapinya. Selama ini aku selalu berharap agar manusia dapat menjaga lingkungannya. Aku tahu, global warming yang sedang melanda Indonesia. Panas raja siang yang membakar tubuh, begitu ganas membuat daun-daun kering, udara sesak, debu-debu mengendap di tubuhku. Bagiku, manusia itulah penyebabnya, kalau saja mereka mau melakukan penghematan, penghijauan dan sebagainya, aku yakin dunia tak’kan seperti sekarang ini.
“Sejujurnya aku ingin membantu membangun kembali kesadaran pada manusia”
“Bagaimana caranya?? Apa kau bisa?? “
“Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak, Dia akan menjadikan mulut kita berucap atas kehendaknya. Aku kasihan pada ala mini yang semakin hari, semakin rusak. Aku ttipkan tanggungjawabku padamu, kalau tubuhku tidak bisa lagi menopang tubuh manusia, jaga dirimu baik-baik!”

Suasana masih sangat ramai. Anak-anak masih dengan senjata mereka, berlari kesana-kemari, bersembunyi, berjinjit-jinjit , mereka mendekati. Anak gendut itu terlihat sangat lincah, tenaganya begitu besar mengalahkan lawannya . ia berlari dan terus berlari. Jaraknya semakin dekat denganku. Langkahnya semakin cepat mendekat, ia meloncat tinggi kemudian menaikiku dan..
“GUBBRAKKK..” tubuhku pecah sudah, tubuhku yang sudah reot ini menjadi berkeping-keping. Hancur sudah raga ini. Melihat keadaanku, suasana rumah mendadak sepi karena suara jatuhnya anak itu. Anak itu menangis keras karena kesakitan. Malangnya anak itu. Sementar meja hanya terdiam melihat aku yang kini tak berdaya.
“Ku tak pernah berpikir akan seperti ini kawanku..” baru kali ini aku mendengar ia mengatakan “kawanku” kepadaku,
“Kenapa?” aku bertanya
“Jadi, kau benar-benar akan meninggalkanku??”
“Ten..tu saja..”
“Ja,,jad,, jadi, tak akan ada lagi yang menasehatiku?”
“Bukankah itu yang kau mau?”
“Kalau aku punya air mata, akan kutumpahkan saat ini juga. Aku memang tak suka kau menasehatiku terlalu berlebihan, tapi sungguh aku akan meras kehilangan, aku tak punya teman, sepertimu.. ayolah bisakah kau menyatukan tubuhmu lagi?”
“Tidak mungkin, aku sudah ditakdirkan seperti ini kawan, setiap awal, pasti ada akhir, setiap kehidupan, pasti ada kematian. Kau tak perlu bersedih kawan.”
“Ku berjanji akan menuruti nasehatmu, mendengarkan petuahmu, aku janji!!”
“Sudah cukup banyak aku berpetuah, terimakasih sudah mau mendengarkanku..”

Dua orang bapak datang menggotong tubuhku, membawaku ke gudang penyimpanan barang rusak. Meja itu menjerit-jerit.
“Jangan !! jangan kau ambil sahabatku wahai manusia !! aku tak sanggup tanpanya ! ya Tuhan apa yang bisa aku lakukan tanpanya? Apalah artinya sebuah meja bila tanpa kursi? Tuhan , aku mohon, izinkan aku berbicara kepada mereka, izinkan aku berteriak saat ini juga, Tuhan apa yang harus aku lakukan??? “

Suasana yang tadinya ramai mendadak sepi, lambat laun orang-orang mulai meninggalkan rumah. Sepi , mencekam.
“Aku masih merintih di sini, ayolah kembalikan kursi itu, aku tak bisa hidup tanpanya, apalah artinya aku? Apa artinya diriku? Aku benar-benar tanpa arti..”
 
Baca juga Cerpen Sedih dan Cerpen motivasi yang lainnya

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking