Donderdag 17 Oktober 2013

I Knew I Loved You -Chapter 1-


-Chapter1-

I miss you..
Miss you so bad..
I don’t forget you..
Oh it’s so sad..
** 
            Aku menatap nanar kearah gundukan tanah yang masih basah, dimakam itu tertulis jelas namanya. Fero Alvino, sosok lelaki yang paling aku cintai kini sudah menyatu dengan tanah. Aku tidak akan bisa lagi merasakan pelukan hangatnya, merasakan lembut suaranya saat memanggilku. Kenapa tuhan, kenapa kau begitu cepat memanggil dia dari sisiku? Kenapa bukan orang lain?
“Rani, mau sampai kapan kau disini? Ayo kita pulang, sebentar lagi akan turun hujan” sebuah suara memanggilku dengan nada lirih. Dia jessy, kakak-ku satu-satunya. Ia yang membawaku ke makam fero. Ia juga yang memberitahukan kabar buruk ini padaku.
“Aku ingin menemani Fero disini. Kau pulang saja duluan!” Jawabku singkat. Aku masih tetap berdiam dimakam kekasihku, dimakam yang masih basah ini. fero, sebentar lagi hujan akan turun. Apa kah kau tidak kedinginan berada dibawah sana? Air mataku kembali menetes. Aku ingin tuhan mengabulkan doaku.
“Fero sudah tenang dialamnya Ra, Ayo cepat kita pergi. Daniel sudah menunggu kita didalam mobil” Ujarnya lagi, aku tetap tidak bergeming. Daniel adalah suami kakak-ku, semenjak Jessy menikah dengannya hanya Fero yang aku punya. Ayah dan ibuku sudah lama bercerai dan kini kami tidak tau dimana mereka berada. Sungguh menyedihkan bukan?
“tidak, aku tidak mau meninggalkan dia sendirian. Bagaimana jika ia kedinginan jessy. Tidakkah didalam sangat menakutkan?” Tuturku sendu, aku benar-benar belum siap kehilangan satu penopang hidupku. Jessy ikut berlutut menjajari posisiku.
“Rania, tidakkah kau kasihan jika Fero ikut sedih melihat kau yang terus-terusan seperti ini? tuhan telah menyediakan tempat terindah untuknya. Seharusnya kau mengirimkan doa, bukan terus-terusan menangisi kepergiannya!” Ujar Jessy, bahkan kini ia ikut menangis. aku terkulai lemah dipelukannya. Benarkah Fero hanya akan sedih melihat aku seperti ini?
*
I hope you can hear me..
I remember it clearly..

            Sudah hampir satu bulan dari kepergian Fero, aku masih teringat dengan jelas sehari sebelum kepergiannya ia masih menemaniku disini. Kamar ini menjadi satu saksi ketulusan cinta kami. Ia memperlakukanku seperti akulah satu-satunya gadis didunia ini. namun kini Fero pergi, ia benar-benar pergi untuk selamanya. Bukan hanya untuk sementara.
            Dan kini bagaimana caranya aku bisa menjalani kehidupanku, jika semua tempat yang sering aku kunjungi adalah tempat dimana kami berdua? Bagaimana caranya aku menghilangkan ingatanku tentang kenangan kami? Aku benar-benar belum sanggup. Aku menyentuh figura yang terpampang rapih dikamarku, figura berisi foto kami berdua seminggu sebelum tragedi itu terjadi.
“Rani, berjanjilah kalau aku tidak berada disampingmu lagi kau akan menjaga dirimu sendiri. Dan jangan biarkan kepergianku membuat kau terpuruk. Apapun yang terjadi, kau harus ingat perjalananmu masih terlalu panjang. Berbahagialah.” Aku ingat sekali saat kami menghabiskan malam untuk melihat bintang Fero berkata seperti itu. Kata kata yang aku sendiri belum mengerti apa maksudnya saat itu. Jujur aku sangat mengutuk kejadian yang menimpa Fero. Bagaimana tidak, kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Dan sialnya lelaki yang mobilnya bertabrakan dengan Fero masih kritis.
“Rania, lusa kita akan pindah. Ku harap kau bisa menerima keputusanku dengan Daniel” Ujar Jessy, ia berjalan kearahku.
“kemana? Dan mengapa kita harus pindah?” Tanyaku, Jessy mengusap kepalaku. Selain seorang kakak, ia juga sudah kuanggap seperti sosok ibu. Ia sangat menyayangiku.
“ibu meminta kita untuk tinggal bersamanya. Kemarin ia menelfonku, dan kebetulan Daniel juga dipindah tugaskan dari pekerjaan lamanya” Jawab Jessy. Dia bilang ibu menyuruh kita tinggal bersamanya? Bagaimana bisa Jessy menerima tawaran ibu? Sedangkan kurang dari lima tahun ia menelantarkan kami?
“Ibu? Bagaimana bisa kau menerimanya Jessy? Apa kau sudah tidak sanggup mengurusku? Apa aku hanya menambah beban bagimu?” Tanyaku, air mataku kini mengalir lagi. Jessy memelukku hangat. Kurasakan getaran dibibirnya juga menahan isak tangis. Jessy dan Daniel juga sama sepertiku, merasa sangat kehilangan sosok Fero. Apalagi yang ia tahu hanya Fero yang bisa meluluhkan kerasnya hati dan pendirianku.
“setelah kehilangan fero bukankah kau membutuhkan sosok ibu? Jujur saja aku belum cukup mengerti tentang segala keluh kesahmu sayang. bukan berarti kau terlalu menjadi beban untukku. Namun, ku kira kau lebih membutuhkan sosok ibu. Lagipula aku dan Daniel akan ikut denganmu. Kita bisa bersama dengan ibu lagi” Jawabnya, ia masih memelukku dengan erat.
“aku tidak mengerti kenapa ibu mau menawarkan diri, setelah sekian lama ia pergi entah kemana. Ku kira ia sudah tidak perduli lagi dengan kita” Tandasku. Jessy tersenyum simpul.
“bagaimanapun, ia tetap ibu kandung kita. Dan kau tidak boleh bersikap seperti itu lagi. Berjanjilah kau tidak akan terus seperti ini. aku hanya tidak mau kau terus terpuruk dengan kepergian fero. Aku ingin kau kembali menjadi Rania Natasya yang ceria seperti dulu.” Tutur Jessy. Aku mengangguk pelan, aku sendiri masih tidak yakin apakah aku bisa kembali berdiri kokoh seperti saat ia masih disisiku?
**
The day, you slipped away..
Was the day, I found it won’t be same..

“kau tau kan? Kalau aku sangat mencintaimu.. Maka aku memohon dengan sangat padamu. Aku mohon teruslah berdiri dengan tegak, berjalan ikuti arah. Terus nikmatilah kebahagiaanmu. Jangan biarkan aku sedih melihatmu seperti itu Ranii.. Tolong bahagialah tanpaku disisimu”
Aku tersentak, keringat dingin kembali membasahi kening, dan juga tubuhku. Ini untuk kesekian kalinya Fero mendatangi mimpiku, aku kembali mengambil sebuah album foto yang kusimpan dibawah bantal. Album foto dimana kami berdua mengabadikan segala hal yang kami lakukan berdua. Aku teringat setiap harinya fero selalu bilang kalau ia mencintaiku. Aku sudah terbiasa mendengar ucapan itu, dan kini aku harus sadar kalau hal itu tidak akan terulang lagi. Air mataku kembali menetes, jika bisa aku ingin menyusul Fero. Bagaimana aku akan bahagia jika aku terus mengingat banyaknya kenangan kami. Bantu aku berdiri seperti dulu lagi Fero. Aku mohon.
“Bagaimana? Apa kau sudah menyiapkan barang-barangmu?” Tanya Daniel, pagi ini aku sudah mulai untuk sarapan bersama. Apa kau tau Fero, melangkahkan kaki menuju meja makan adalah hal tersulit yang aku rasakan. Setiap pagi, kau selalu menyediakan sarapan untukku, Jessy dan juga Daniel. Kami memang sudah tinggal bersama, dan sebenarnya seminggu yang lalu adalah hari dimana kami akan bertunangan. Bagaimana bisa acara it uterus dijalankan jika kau sudah tiada Fero. Ku lihat bangku disebelahku kini kosong, tidak ada lagi sosok Fero yang menggodaku saat sarapan, tidak ada lagi ciuman hangat dikeningku saat ia ingin pergi bersama Daniel menuju kantor. Kami sudah seperti suami-istri bukan? Itulah hal yang membuatku sangat merasa kehilangannya.
“Ya, Daniel. Kau tidak perlu khawatir, aku sudah packing semalam. Memangnya kapan kita akan pindah kerumah ibu?” Tanyaku. Mungkin, alasan  lain kenapa Jessy mengiyakan permintaan ibu adalah kondisi mentalku. Anak gadis yang sedang rapuh sepertiku memang sudah selayaknya tinggal bersama ibu. Dan, suasana dijakarta membuatku sudah bosan. Mungkin dengan pindah dari kota ini aku bisa menata kembali kehidupanku, semoga saja.
“sepertinya nanti malam. Kita akan pindah, aku sudah mempersiapkan semuanya. Kau dan Jessy hanya terima beres saja” Tutur Daniel, aku memaksakan sebuah senyum tipis. Jujur saja, pindah membuatku berat namun memaksa tinggal disini juga membuatku tidak bisa bertahan.
“Ranii, semoga dengan kepindahan ini, kau bisa menata kembali kehidupanmu. Yang perlu kau tau, kehilangan sosok penopang hidup bukan berarti kau juga harus terpuruk. Justru itu sebuah ujian kesabaran untuk meninggkatkan kedewasaanmu.” Tutur Jessy, aku mengangguk dan tersenyum penuh haru.

***

1 opmerking: