Woensdag 19 Junie 2013

Cerpen : Mom, You're My Real Soulmate

Apa yang kalian pikirkan tentang soulmate? Thats right, belahan jiwa! Gini, menurut saya pribadi belahan jiwa itu adalah orang yang ikut merasakan apa yang kita rasakan. Sakit, senang, susah, apapun itu ia akan ikut merasakannya. Dan... Sosok itu ada pada Ibu kita sendiri. Orang yang banyak berkorban untuk hidup kita. Beliau akan sedih kalau kita sakit atau pun sedih. Itu soulmate atau belahan jiwa yang sesungguhnya. Ok, author sotoy, hehe jgn ditiru yaa.. Happy reading, ambil pesan positif dari cerita amburadul ini. Satu lagi, hargai ibu kalian, dan hargai orang yang menyayangi kalian. ~

Check This Out !

What?! Loe masih percaya soulmate?” tanya Dara pada sahabatnya yang duduk di hadapannya saat jam istirahat itu.

“Nggak usah keras-keras ngomongnya!” sembur gadis tomboy bernama Mita itu. Dara meringis tanpa ekspresi bersalah.

“Lagian elo ada-ada aja! Soulmate itu mitos!” kata Dara dengan tampang sok tahunya itu.

“Kata siapa? Sok tau!” sanggah Mita jengkel.

“Kata gue!” ujar Dara menyeringai jahil.

Mita menarik hidung Dara sekeras-kerasnya, membuat si empunya hidung meringis kesakitan.

“Sakit tau!” ujar Dara sambil mengelus-elus hidungnya yang memerah itu.

“Sok tau si loe!” tandas Mita tak mau kalah.

Kedua gadis itu terdiam, Mita sibuk memainkan sedotan minumnya. Sedangkan Dara sibuk mengelus-elus hidungnya.

“Mit.. Mita!” seru Dara menepuk lengan Mita.

“Apa?” tanya Mita, masih asik memainkan sedotannya.

“Cowok idaman loe tuh!” bisik Dara.

Mita mengalihkan pandangannya, mencari sosok yang Dara sebut barusan. Didapatinya cowok bertubuh tinggi, putih, berhidung mancung dan hampir terlihat sempurna itu, berjalan menuju tukang siomay. Mata Mita tak berkedip.

“Mit, ngediplah!” sindir Dara jahil.

“Ganteng banget ya, Ra si Wahyu!” ujar Mita sambil menopang dagunya.

Dara mengangguk, Mita masih terus memperhatikan Wahyu yang kini mulai berjalan ke salah satu meja kosong. Mita bisa menebak, pasti sebentar lagi cewek-cewek centil itu menghampiri Wahyu dan menawarkan diri untuk menemani Wahyu. Trik basi dan murahan!
Sedang asik-asiknya memperhatikan sang pujaan hati, handphone dimeja berdering, membuyarkan mimpi indahnya disiang bolong itu.

“Ah, Bunda!” desah Mita malas.

“Angkat!” perintah Dara.

“Iya, Bunda? Mita udah makan bekal yang Bunda bawain, nanti juga Mita pasti langsung pulang kok, Bun!” celoteh Mita dengan senyum terpaksa.

“Jangan lupa....”

“Jemput Al di sekolahnya, iya Mita inget!” sela Mita cepat.

“Bawa motornya jangan ngebut, ya!” peringat sang Bunda.

“Iya, Bunda!” ujar Mita tersenyum kecut.

Terdengar suara telepon terputus, Mita menghela napas lega seraya memasukkan handphone-nya ke dalam kantung seragamnya.

“Nyokap loe sayang banget ya, Mit sama loe? Sampai-sampai loe di telepon setiap saat” Dara berkomentar.

“Terlalu over protektive!” sergah Mita tersenyum kecut.

“Nyokap gua juga nggak segitunya!” balas Dara lagi.

Mita memang telah terbiasa dengan sikap sang Bunda yang terlalu over protektive padanya. Sejak kecil, Mita tak pernah bisa merasakan apa itu bebas. Baginya, bebas hanya ada dalam mimpi di setiap tidurnya. Tak kan pernah terwujud sampai kapanpun. Sikap sang Bundanya yang terlalu over itu menjadikan dirinya pribadi yang sulit menerima hal baru.

***

“Nih, motornya!” Mita menyerahkan kunci motornya pada Al, adiknya saat dirinya telah bertemu Al di sekolah.

“Loe mau kemana, kak?” tanya Al agak curiga.

“Cabut, kalo Bunda nanyain gua, bilang aja gua dirumah Dara, ok!” perintah Mita. Al hanya menganga.

“Tapi... Kak?” bantah Al.

“Bawel banget, udah sana pulang!” perintah Mita keras.

Al pun menunggangi motor ninja merah itu, lalu pergi meninggalkan kakaknya.
Mita menaiki salah satu bus yang lewat di depan sekolah Al, mencari-cari kursi yang masih kosong. Tapi, yang tersisa hanya di kursi belakang, dengan wajah sumringah Mita pun menduduki kursi itu. Bus pun mulai membawanya menjauh dari sekolah Al. Mita menyandarkan punggungnya di badan kursi bus itu, ia benar-benar tak menyangka bisa bebas dari jerat sang Bundanya hari ini.
Mita melirik seorang lelaki berseragam SMA yang duduk di sebelahnya yang terus memperhatikan pemandangan luar sana. Tangannya menggenggam beberapa lembar kertas dan sebuah pensil. Di tangan kirinya melingkar sebuah jam bermerk, pasti lelaki itu bukan lelaki biasa-biasa saja.
Bus menikung ke arah kanan, membuat para penumpang saling himpit ke kanan, termasuk Mita.

“Aduh! Bilang dong kalo mau ada tikungan!” gerutu Mita polos.

“Maaf ya?” ucap Mita pada lelaki di sebelahnya itu.

Lelaki itu tersenyum tipis, Mita melongo tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Wahyu!
“Wahyu?” gumam Mita.

“Iya, loe kenal gua?” tanya Wahyu bingung.

“Kita satu sekolah, loe Wahyu si cowok populer itu, kan?” celoteh Mita agak kikuk.

“Oh ya? Tapi gua nggak pernah liat loe!” aku Wahyu.

“Yaiyalah, emang gua siapa?” batin Mita.

“Tapi, soal cowok populer itu, nggak penting!” lanjut Wahyu.

Mita menangkap nada tak suka dari ucapan Wahyu.

“Siapa nama loe?” tanyanya.

“Mita” ucap Mita seraya mengulurkan tangannya.

Wahyu menjabat tangan Mita seraya tersenyum. Mita menatap mata Wahyu yang dingin namun teduh itu. Ada kehangatan yang menyeruak hebat dari tatapan sepasang mata itu. Tatapan yang membuat Mita jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Deringan handphone membuatnya tersentak kaget.

“Iya, Bunda?” sahut Mita tanpa babibu lagi.

“Kamu dimana si? Kenapa Al disuruh pulang sendiri, nanti kamu pulang naik apa? Kamu nggak tau, diluar mendung. Bunda nggak mau tau, kamu harus pulang sekarang!” perintah sang Bunda.

“Tapi... Bunda?” sergah Mita.

“Naik taksi ya, nanti kalau uangnya kurang, biar Bunda yang bayar!” cerocos sang Bunda lagi.

Mita menghela napas berat. Kenapa selalu seperti ini? Wahyu kembali memperhatikan pemandangan di luar sana.

“Kenapa si Bunda selalu giniin Mita? Mita bosen!” celetuk Mita yang sudah tak sanggup menahan sesak di dadanya.

Wahyu yang mendengarnya mengalihkan pandang ke arah gadis tomboy yang baru saja dikenalnya itu. Mita mematikan teleponnya dengan jengkel.

“Bunda nyebelin!” gumam Mita pelan seperti bisikan. Namun Wahyu mendengarnya.

“Kenapa loe?” tanya Wahyu.

“Nyokap gua minta gua pulang sekarang juga” jawab Mita.

Wahyu tak menjawab, tiba-tiba saja kepalanya terasa pening.

“Kiri ya, Pak!” seru Wahyu seraya bersiap berdiri.

Bus pun berhenti. Wahyu pun beranjak turun dari bus itu.

See you, Mita!” seru Wahyu sebelum akhirnya turun dari bus itu dengan menahan sakit di kepalanya.

“Wahyu aneh! Tumben dia naik bus, kemana motornya?” gumam Mita.

Mita berjalan masuk ke dalam rumahnya sore itu dengan mengendap-endap supaya ibunya tak memergokinya yang baru saja tiba di rumah sepetang ini. Mita sedang tak ingin mendengar celotehan itu. Celotehan yang isinya selalu sama seperti kemarin-kemarin.

“Mita!” suara yang tak asing untuknya.

Mita menghela napas berat seraya menghentikan langkahnya.

“Darimana kamu? Tadi Bunda bilang apa?” cerocos Bunda padanya sambil melipat tangannya diatas perut.

“Mita abis dari toko buku” jawab Mita santai.

“Kenapa nggak ajak Al? Kenapa Al kamu suruh pulang duluan?” introgasi Bundanya. Mita menunduk.

“Jawab!” sentak sang Bunda. Mita mengangkat kepalanya.

“Kamu udah berani bohongin Bunda! Kamu bilang sama Al kalau kamu dirumah Dara, tapi ternyata Dara bilang kamu sama sekali nggak ke sana!” omel Bunda keras.

“Cukup Bunda!” sergah Mita agak keras.

“Mita!” seru Bunda.

“Mita capek diperlakukan seperti anak kecil sama Bunda! Apa pernah Bunda mikirin perasaan Mita dengan perlakuan Bunda yang teqlalu over itu? Pernah Bunda?!” lanjut Mita lantang.

“Mita!” Bunda membulatkan matanya.

“Mita udah dewasa, Mita berhak merasakan sebuah kebebasan seperti yang teman-teman Mita dapatkan Bunda!” suara Mita bergetar. Ia menahan tangis.
“Mita cuma pengen kayak temen-temen Mita, seneng-seneng nikmatin masa remajanya!” Mita menangis.

“Tapi Mita apa? Mita ibaratkan seekor burung yang nggak bisa mempergunakan sayapnya untuk terbang setinggi Mita mau, Bunda tau kenapa? Itu semua karena sikap Bunda yang terlalu menekan Mita, mengurung Mita dalam sangkar emas kesayangan Bunda. Mita capek! Mita bosen!” tangis Mita pun pecah.

“Jadi... Kamu nggak suka...” ucap Bunda yang sudah menangis.

“Iya! Mita nggak suka, karena sikap Bunda yang terlalu over itu nggak pantes Bunda berlakukan untuk Mita!” sela Mita cepat.

Bunda meneteskan air matanya seraya menatap putri sulungnya itu dengan tatapan nanar.

“Karena Mita bukan boneka Bunda, yang bisa Bunda atur sesuai yang Bunda mau!” suara Mita meninggi.

“Mitaaa...” suara Bunda agak parau.

“Mita benci sama Bunda!” tukas Mita.

“Kak!” seru Al yang sedari tadi mendengar pertengkaran ibu dan kakaknya itu. Mita menatap Al, adiknya.

“Loe nggak berhak bilang gitu sama Bunda!” kata Al lantang.

“Loe nggak ngerti, Al!” balas Mita jengkel.

“Nggak ngerti apa, kak? Al bukan anak kecil lagi yang cuma bisa nangis saat kakak sama Bunda ribut!” sergah Al.

“Loe nggak pernah tau gimana rasanya jadi gua. Nggak pernah! Jadi lebih baik loe diem!” Mita seperti orang kesetanan.

“Cukup!” teriak Bunda seraya menutup kedua telinganya.

Al mendekati ibunya yang menangis itu, kemudian mendekapnya penuh cinta.

“Dan sekarang, gua yang benci sama loe, kak!” aku Al.

“Terserah! Loe pikir gua peduli? Nggak!” ujar Mita.

Al seperti bukan sedang melihat Mita, kakaknya itu seakan telah menjelma menjadi anak pembangkang dan pemberontak dalam sekejap.

“Loe pasti nyesel, kak! Loe nggak pernah tau kan kenapa Bunda bersikap over sama loe!” Al bicara lagi.

“Al, udah! Kakak kamu lagi emosi, Bunda gapapa, ayo anter Bunda ke kamar” ujar Bunda. Al mengangguk mengiyakan.

Mita masuk ke kamarnya dan membanting pintu kamarnya. Ia merogoh isi tasnya, sebuah kotak kecil berbalut kertas merah maroon ia lempar tanpa arah. Ia benci semua ini, ia benci hidupnya.

***

Mita duduk di taman sekolahnya saat jam istirahat, hari ini tak ada bekal dan telepon dari Bundanya. Tidak sama sekali. Ucapan Al tadi pagi, masih terngiang jelas di telinganya. Al mengingatkannya bahwa besok Bunda berulang tahun. Al bodoh! Mita tak mungkin melupakannya!

“Mita? Loe Mita kan?” tanya seseorang. Mita menoleh.

“Wahyu” Mita menyambutnya dengan senyum tipis. Wahyu duduk disebelahnya.

“Ngapain disini?” tanya Mita.

“Setiap istirahat, gua selalu duduk disini sebelum ke kantin!” jawab Wahyu seraya tersenyum. Pandangannya lurus ke depan.

“Oh ya?” tanya Mita tanpa menoleh ke arah Wahyu.

“Iya” jawabnya.

Mita benar-benar tak habis pikir kalau dirinya sekarang sedang duduk berdua dengan Wahyu ditempat ini. Impian semua gadis disekolahnya! Dan Mitalah yang beruntung!
Mita merogoh kantung seragamnya, meraih handphone-nya yang berdering dan sangat mengganggu pendengaran itu. Mita mendengus kesal saat melihat nama yang tertera di LCD-nya. Al. Mita pun menekan tombol answered.

“Kak, gua mau bikin kejutan nih buat Bunda! Loe ikutan ya?” celoteh Al antusias.

“Apa? Gua sibuk, loe aja yang siapin, gua nggak minat!” celetuk Mita lalu memutuskan teleponnya.

“Hari ini Bunda loe ulang tahun?” tanya Wahyu pada Mita.

“Iya” jawab Mita singkat.

“Seru dong!” komentar Wahyu seraya menatap Mita.

“Apa?” tanya Mita seraya menautkan alisnya.

“Iya seru, jadi bisa kumpul bareng keluarga!” ujar Wahyu.

“Gua lagi ada masalah sama Bunda gua!” aku Mita.

“Masalah?” tanya Wahyu agak bingung.

Mita menatap lekat mata Wahyu, haruskah ia menceritakan masalah yang sedang mengganggu pikirannya?

“Kemarin, gua bertengkar hebat sama Bunda gua. Gua nggak suka sama sikapnya yang terlalu overprotektive, gua capek!” cerita Mita.

Wahyu menarik napas, lalu menghembuskannya.

“Mita, dengerin gua ya? Setiap orangtua punya caranya sendiri untuk mengungkapkan rasa sayangnya terhadap orang yang paling di kasihinya!” Wahyu angkat bicara.

Mita menunduk, ucapan Wahyu agak membuatnya terpojok. Namun ia benar-benar tak menduga, Wahyu bisa bicara sebijak itu. Wahyu yang dikenalnya sangat dingin dan angkuh. Bahkan senyum pun anti.

“Loe nggak ngerti, Yu! Gua tertekan!” tukas Mita.

“Ya, gua emang nggak ngerti, karena memang dari kecil gua nggak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu!” sergah Wahyu agak pelan. Mita terperangah.

“Mungkin itu cara Bunda loe menyayangi dan berusaha melindungi loe. Loe harus ngerti dan hargain itu, Mit!” lanjut Wahyu seraya mengukir senyum. Mita masih saja membisu.

“Loe patut bersyukur, karena masih ada orang yang peduli dan sayang sama loe” Wahyu menyandarkan punggungnya di kursi itu, kemudian menarik napas dalam dan menghembuskannya.

Wahyu mengerti, orang seperti Mita tak bisa ditangani dengan cara kasar. Tapi dengan kesabaran dan kelembutan.
Mita membeku, ucapan Wahyu benar-benar membuat hatinya seperti teriris. Sakit. Pertengkaran kemarin sore kembali mengganggu pikirannya. Sejahat itukah dirinya? Membentak ibunya sampai menangis? Mengabaikan perhatian ibunya yang sangat tulus dan tanpa pamrih itu? Menyakiti hatinya dengan ucapan kasarnya? Ya Tuhan!

“Gua emang nggak punya hati!” Mita memaki dirinya sendiri.

“Gua tega nyakitin Bunda gua sendiri dengan ucapan kasar gua!” air mata Mita menetes.

Wahyu menarik tubuh Mita ke dalam dekapannya. Mencoba ikut merasakan apa yang Mita rasakan.

“Gua ini anak yang nggak tau diuntung! Gua nggak peka!” Mita memukul dada bidang Wahyu.

“Sekarang loe ngerti kan? Ada hal yang lebih patut loe syukuri di dunia ini. Kehadiran dan kasih sayang seorang Ibu!” ucap Wahyu. Mita menyeka air matanya.

“Kalau gua boleh pilih, gua lebih baik nggak usah dilahirkan ke dunia ini. Supaya Ibu gua bisa tetap hidup sampai detik ini!” Wahyu bercerita.

“Loe beruntung, Mit. Loe punya ibu yang sayang banget sama loe” lanjut Wahyu lirih.

“Makasih, Yu. Loe udah bikin gua sadar, kalau ada hal yang lebih berharga di dunia ini. Kehadiran dan kasih sayang seorang ibu!” Mita melepaskan dekapan Wahyu kemudian tersenyum.

Wahyu tersenyum simpul, sejak kecil Wahyu memang tak pernah bertatapan langsung dengan ibunya. Ibunya meninggal setelah melahirkannya. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan seorang baby sitter dan seorang pembantu. Kehidupan yang tak pernah menemukan kebahagiaan. Kehadiran sosok ibu hanya akan menjadi mimpi indah yang tak akan terwujud bagi Wahyu.
Lelaki dingin itu telah banyak mengajari Mita hal baru hari ini. Diluar dugaan.

***

Mita mengobrak-abrik kamarnya siang itu, mencari kotak kecil yang dilemparkannya kemarin. Kotak itu adalah kado ulang tahun untuk ibunya. Seharian kemarin, Mita memang pergi mencari hadiah yang tepat untuk ibunya.

“Kak, loe cari apa?” tanya Al yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Mita, kakaknya.

“Nggak sopan! Ketok pintu dulu dong!” omel Mita agak jengkel. Al pun pergi begitu saja.

Suara klakson mobil dari depan gerbang membuat Mita terperanjat kaget.

“Itu pasti Bunda! Kemana si tuh kotak?” Mita mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Kak, Bunda udah pulang! Siap-siap ya!” Al memberi komando. Mita mendengus kesal.

“Bunda pulang!” seruan itu menggema.

Mita pun menemukan kotak itu di kolong meja riasnya. Matanya berbinar sangat sumringah.

“Bunda!” Mita menghampiri ibunya yang duduk di meja makan. Bunda menoleh kearahnya.

“Mita mau minta maaf sama Bunda. Mita udah bentak Bunda, Mita udah bikin Bunda nangis, Mita bukan anak yang patut Bunda banggain, Mita...”

“Mita!” Bunda menyela seraya berjalan menghampirinya. Mita menunduk, ia menahan tangis.

“Bunda selalu maafin Mita, sebesar apapun kesalahan Mita” ucap Bunda.

Mita mendongakkan kepalanya, kemudian memeluk wanita luar biasa itu.

“Mita sayang sama Bunda!” aku Mita seraya mempererat pelukannya.

“Bunda lebih dari itu!” ucap Bunda seraya tersenyum.

Mita memang tak pernah peka dengan perhatian Bundanya itu. Tapi sekarang Mita mengerti, kasih sayang seorang ibu memang tak pernah terkalahkan. Sekuat apapun ia menghindarinya, ia akan tetap dan selalu membutuhkan cinta itu. Cinta kasih seorang Ibu. Cinta yang paling abadi sepanjang masa dibandingkan dengan cinta apapun yang ada di dunia. Dan sekarang, Mita telah menemukan soulmate itu. Yah, ibunya sendiri. Ibu yang melahirkan dan membesarkannya penuh cinta. Belahan jiwa yang sebenarnya!

Happy birthday to you, happy birthday to you!” Al muncul seraya membawa sebuah kue tart, membuat Mita dan Bunda menyudahi aksi berpelukannya.

Happy Birthday, Bunda!” seru Mita dan Al.

“Bunda aja lupa kalau hari ini Bunda ulang tahun! Emang dasar orangtua pikun!” Bunda menyeringai.

Mita dan Al tertawa lepas. Al meletakkan kue itu diatas meja makan.

“Kita sayang Bunda!” Al dan Mita memeluk ibunya itu erat.

Mita mendapat pelajaran baru hari ini, untuk selalu menghargai kasih sayang seorang ibu. Yah, Wahyu yang mengajarkan itu semua. Mengajarkan arti sebuah bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. Mita memang mencintai ibunya, bukan hanya mencintai tapi juga mengagumi, seperti halnya ia mencintai Wahyu. Tapi cintanya kepada Bundanya, tak akan sebanding dengan cintanya pada Wahyu. Lelaki yang telah mengajarkannya banyak hal. Dan Wahyu hanya akan menjadi kenangan manis di hidupnya. Kenangan manis yang akan terukir indah di benaknya. Mita mengerti, seorang belahan jiwa yang sebenarnya adalah orang yang ikut merasakan apa yang ia rasakan. Meskipun itu sakit sekalipun. Dan yah, belahan jiwa itu adalah ibu. Wanita yang tanpa pamrih memberi cintanya tanpa menuntut balas. Seharusnya Mita menyadari itu dari dulu.

TAMAT

Aku emang gak pernah ngucapin hari ibu langsung ke Mama, tapi aku inget terus sama hari ibu, cuma cerpen ini yang bisa aku dedikasikan buat Mama di hari ibu tahun ini. Happy Mother Day For My Mom :*

sumber : Facebook Dv Rahma Devi

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking