Woensdag 19 Junie 2013

you're not last one


You're Not The Last One


Sudah hampir sebulan belakangan ini aku dekat dengan seorang cowok, namanya Dio. Dia salah satu teman sekelas di sekolahku. Cowok tampan berkulit putih yang tingginya kira-kira 5 cm di atasku.
Berawal dari tuntutan tugas kelompok yang membuatku dan Dio menjadi lebih kenal satu sama lain. Sejak saat itu lambat laun hubunganku dan Dio semakin akrab. Ntahlah apa penyebabnya hingga akhirnya kami menyadari bahwa semakin lama kami semakin saling membutuhkan satu sama lain. Dan hari ini aku sadar bahwa aku mencintainya.

“Rin! Udah ngerjain PR Fisika, belum?”, tanya Priska teman semejaku di kelas.
“Belum, lagian ngumpulinnya masih minggu depan, kan?”
“Tumben. Biasanya kalo dikumpulinnya bulan depan juga lo pasti ngerjainnya dari sekarang. Lagi ada yang ngeganggu pikiran lo ya???”
“Gak ada kok. Haha”, aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Priska. Karena memang sejujurnya, ya. Ada yang mengganggu pikiranku beberapa hari belakangan ini, salah satu makhluk Tuhan bernama Dio.
“Bohong deh! Akhir-akhir ini gue perhatiin lo sering senyum-senyum sendiri gak jelas gitu! Pasti lagi kasmaran ya? Hayoo ngakuuuu”
“Dih, siapa yang lagi kasmaran? Ada-ada aja lo. Haha”
“Ciyeeee. Siapa sih cowok beruntung yang berhasil menyentuh hati seorang kutu buku teladan kita ini??? Cerita donk, Rin!!!”
“Enggak, Pris! Gak ada!”, lagi-lagi kujawab dengan tawa kecil.
Priska terus menggodaku, dan aku tetap teguh dengan jawabanku. Tak ada yang boleh tau mengenai apa yang terjadi dengan perasaanku terhadap Dio. Dan mengenai kedekatan kami, hanya kami dan Tuhan yang tau.
Ya, ngapain harus ngumbar-ngumbar kedekatan?? Emang dapat duit? Gak kan…
Aku dan Dio sepakat merahasiakan kedekatan kami dari siapapun. Backstreet.
***
Sebulan kemudian, hubunganku dan Dio masih gitu-gitu aja. Kami berteman lebih dari sekedar teman, ntahlah apa itu namanya? TTM? Dan perlahan aku mulai jenuh dengan hubungan yang tidak jelas ini. Secara diam-diam hatiku berharap hubungan ini bisa diperjelas statusnya.
Ya, tentu saja. Aku tak mau merasa seperti diberi harapan palsu terus….
Suatu hari akhirnya tingkat kejenuhanku memuncak. Aku tak tau bagaimana caranya untuk membuat Dio sadar mengenai hal ini. Aku masih berharap suatu saat dia akan sadar bahwa dia sudah ‘menggantungkan aku setinggi ini’. Aku butuh kepastian!
Hari itu, jam sekolah akhirnya usai. Dan seperti biasa, aku berjalan beberapa meter dari gerbang sekolah ke jalan raya untuk bisa bertemu dengan Dio di ujung jalan tersebut. Tapi kali ini sepertinya aku tak akan menuruti keinginannya untuk mengantarkanku pulang seperti biasanya. Aku ingin mencoba untuk membuatnya peka. Aku tak ingin merasa seperti digantung terus.
Dari kejauhan aku sudah melihat Dio yang menungguku di ujung jalan itu, sama seperti hari-hari sebelumnya. Di tempat itu tak ada yang akan tau bahwa kami bertemu. Ingat? Ini hubungan yang rahasia…
Dio melambai ke arahku, namun aku diam saja. Ketika aku tiba di ujung jalan tersebut, Dio langsung tersenyum dan memberi ‘kode; agar aku segera duduk di boncengannya, namun lagi-lagi aku hanya diam tak meresponnya.
“Kenapa?, tanyanya ketika menyadari ekspresi wajahku tak seperti biasanya.
“Aku mau pulang naik angkot aja.”, jawabku datar.
“Loh, kenapa? Kamu marah sama aku?”
“Enggak. Aku cuma…..”, kalimatku tertahan. Sebenarnya aku tak tau harus mulai dari mana untuk menjelaskan apa yang ingin kukatakan.
“Cuma apa?”, Tanya Dio lagi dengan penasaran.
Aku menghela nafas perlahan kemudian melanjutkan kalimatku, “Cuma pengen menjauh dari kamu.”, kataku dengan polosnya.
Dio menatapku heran, “Kamu kenapa, sih?”
“Aku capek. Aku gak mau semakin berharap pada ketidakpastian. Aku takut semuanya cuma harapan palsu!”, kataku dengan tegas di hadapan Dio.
Kami terdiam sejenak, tanpa kata. Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti di ujung jalan tersebut. Aku berjalan menjauhi Dio menuju ke arah angkot itu.
“Rin, please….”, samar-samar desis Dio terdengar di telingaku. Tapi aku tak menghentikan langkah. Dan angkot tersebut akhirnya beranjak meninggalkan ujung jalan itu, bersamaku di dalamnya.
Semoga Dio paham apa maksudku…
***
Di rumah, aku mulai gundah. Serba salah rasanya. Pengen cerita tapi gak tau mau diceritain ke siapa karena memang dari awal gak ada yang tau mengenai hubunganku dan Dio yang tak jelas ini.
Setelah apa yang kulakukan sepulang sekolah tadi, sekarang aku malah jadi resah. Bagaimana jika Dio gak merespon dengan ‘kode’ ku tersebut? Bagaimana jika dia gak peduli? Bagaimana jika akhirnya dia lebih memilih untuk meninggalkanku?
Aku hanya bisa mondar mandir di dalam kamarku yang sempit sambil memegang HP di tanganku, berharap tiba-tiba Dio akan menghubungiku. Tapi percuma, lagi-lagi hanya harapan kosong.
Karena tak tau harus cerita pada siapa, akhirnya kuluapkan emosiku melalui social media Twitter.
“Apa kamu masih belum paham juga??”
“Aku capek digantung kayak gini terus!”
“Jangan-jangan kamu memang PHP ya? Pemberi Harapan Palsu? L
“Yaudah deh, mungkin lebih baik aku ngelupain kamu….”
“I’m on my way to forgetting you..”
Begitulah sederetan status yang kuposting di Twitter. Semoga Dio baca!!
Tak lama setelah memposting status galau tersebut, ponselku berdering. Akhirnya Dio ngirim SMS.
‘Rin….’ – gitu doang isinya. Tak kubalas. Hingga beberapa menit kemudian ponselku kembali berdering.
‘Sorry…..’ – lagi-lagi cuma SMS yang berisi 1 kata. Dan aku masih kuat untuk tak merespon SMS tersebut.
Sekitar 30 menit kemudian, ponselku kembali berdering. 1 SMS lagi dari Dio.
‘Ok. Let me tell you. I’ve tired of pretending. I need you. I want you in my life. And now I’m begging you to stay. Stay with me….’ –
Isi SMS nya kali ini akhirnya berhasil membuatku tersenyum lega. Dari kalimatnya tersebut dapat kupahami bahwa dia memintaku untuk tetap bertahan denganya. Dia tak ingin aku menjauh… begitu, kan?
‘R U SERIOUS??’- SMS terkirim.
Tak lama, SMS balasan dari Dio muncul di layar ponselku.
‘I’m serious. Really J
Aku tersenyum bahagia, kamar sederhana ini menjadi saksinya betapa aku bahagia dengan jawaban dari Dio tersebut. Meskipun tak ada kejelasan, setidaknya ada kepastian bahwa ia tak ingin aku melupakannya….
Keesokkan harinya hubunganku dan Dio kembali normal. Dan tentunya masih dalam keadaan tanpa diketahui oleh siapapun.
***
Setelah saat itu, hubungan yang tak jelas ini baik-baik saja. Meskipun terkadang aku masih berharap sebuah kejelasan, tapi yasudahlah, begini saja sudah cukup asalkan aku masih bisa berada di dekat Dio.
Namun, seminggu menjelang hari ulang tahunku, tiba-tiba ada yang berubah dari cowok berwajah oriental itu. Aku merasa perhatiannya terhadapku mulai menipis, dan sikapnyapun mendadak cuek. Tapi setiap kali ditanya dia cuma bilang ‘gak papa’…
Hingga akhirnya tepat di hari ulang tahunku, Dio benar-benar tak memberiku kabar. Ia seolah menghindar dariku, dan menghilang begitu saja dari hari-hariku. Bahkan saat bertemu di kelaspun ia seperti tak mengenalku. Apa ini artinya dia sudah muak denganku?
Padahal aku sangat berharap Dio menjadi orang pertama yang mengucapkan Happy Birthday untukku, namun lagi-lagi harapanku sia-sia. Jangankan memberi ucapan selamat, ngirim SMS atau telepon aku aja enggak. Tindakkannya membuat hari yang harusnya spesial ini menjadi suram..
Sikapnya yang berubah drastis tersebut kembali membuatku galau dadakan. Dan lagi-lagi aku tak punya teman untuk berbagi cerita mengenai hal yang mengganggu pikiranku ini. Dan kuputuskan untuk mengeluarkan unek-unek di Twitter lagi.
“Aku berharap ini cuma lelucon!”
“Kemana kamu? Kenapa menghilang begitu saja?!”
“Di kelas bahkan tak menyapa ataupun melihatku. SMS atau telepon juga enggak! Jahat!”
“Mungkin aku bodoh. Tapi aku sayang kamu. Ini hari ulangtahunku, kenapa kamu malah menjauh dariku??”
“Aku percaya, jika kamu jodohku,  pasti kamu akan kembali.. I believe it!”
“Terima kasih untuk 3 bulan yang mengesankan ini. Aku sayang kamu…”
Hingga pukul 10 malam di hari ulang tahunku, Dio masih belum memberi kabar apapun. Lelah berharap, akupun tertidur pulas. Terkadang masih berharap ketika terbangun nanti aku akan menyadari bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi…
Namun belum lama aku terlelap, tiba-tiba Ibu memanggilku. Akupun keluar kamar dan menghampiri Ibu.
“Kenapa, Bu?”, tanyaku dengan suara berat akibat masih mengantuk.
“Ada yang nungguin kamu tuh di luar..” jawab ibu santai.
“Loh, siapa?”
“Kamu lihat saja sendiri….”
Menuruti perkataan Ibu, aku langsung keluar dan melihat siapa yang ada disana.
Seorang laki-laki yang postur tubuhnya ku kenal, mengenakan kaos biru, duduk manis di kursi tamu yang tersedia di teras rumahku.
“Ngapain kamu kesini??”, tanyaku dengan intonasi kesal. Mendengar suaraku Dio langsunng berdiri dan menatapku sambil tersenyum.
Happy Birthday…”, katanya.
“Oh, kamu tau ini hari ulang tahun aku??”, tanyaku dengan nada sinis. Aku sudah terlanjur badmood!
Sorry……
Aku membalikkan badan hendak masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu dan membiarkan Dio berada di luar. Namun belum sempat aku melakukan semua itu, Dio menghalangi langkahku.
“Rin!”, ia memegang tanganku kemudian memaksaku menatap matanya…
Aku menghela nafas perlahan, semoga Ibu gak tiba-tiba keluar melihat Dio sedang memegang telapak tanganku. Malu!!
“Look at me…”
Aku menatapnya dengan kening berkerut.
“I just wanna be the last one who says Happy Birthday to you, including the last one you love…”, desisnya perlahan di hadapanku. Membuat jantungku terasa seperti ingin berhenti berdetak.
Semoga aku tak salah dengar!
Aku memejamkan mata kemudian tersenyum dan mendengus kesal. “Jadi kamu sengaja seharian ini ngerjain aku??!”, bentakku sambil mencubiti perutnya yang berlapis kaos oblong berwarna biru.
“Hahahah, sorry…..”, dia tertawa puas karena berhasil membuatku panic seharian. “Sorry udah bikin hari spesial kamu jadi suram, ya…”, lanjutnya sambil dilanjutkan dengan tawa lagi.
Dan malam ini menjadi malam yang tak terlupakan. Juga kalimat yang tadi diucapkannya, Just wanna be the last  one….
Akupun mengharapkan hal yang sama. Semoga J.
***
Beberapa minggu kemudian, singkat cerita, hubungan tak jelasku dengan Dio tersebut akhirnya berakhir begitu saja. Bukan menjadi ‘jelas’, namun menjadi ‘selesai’. Hanya karena hal sepele yang terlalu panjang untuk diceritakan. Aku tak mau membuang-buang waktu mengingat-ingat masalah itu.
Intinya hubungan yang rahasia itu kini sudah tiada. Sudah hampir sebulan aku dan Dio lost contact. Semua benar-benar menghilang. Kecuali perasaanku. Ntahlah kenapa, aku masih menyimpan rasa sayang untuknya.
Ya, itu masalahnya. Aku belum bisa melupakannya, kenangan bersamanya masih melekat di pikiranku. Dan perasaan ini masih terlalu nyata dan menyakitkan untuk kuhadapi. Dimana disamping semua itu aku tak punya siapapun untuk diajak berbagi cerita, karena memang dari awal tak ada yang mengetahui hubungan tersebut, hubungan yang bermula dan berakhir tanpa diketahui oleh siapapun.
Aku membetulkan letak kacamata di wajahku, merapikan tataan rambut yang kukuncir kuda, kemudian mulai menulis kata demi kata di lembaran buku diaryku. Kelas sedang sepi, tak ada siapapun kecuali aku. Teman-temanku yang lain sedang mengikuti pelajaran olahraga di luar kelas
Penaku mulai menari….
Dio Anggara. Aku gak percaya kamu bisa semudah itu melupakan aku. Mana bukti kalimat kamu yang ingin menjadi orang terakhir yang aku cintai? Sekarang kamu benar-benar ninggalin aku gitu aja…
Dan bla… bla… bla… aku terus menulis kata demi kata. Setelah beberapa halaman selesai, aku meletakkan penaku dan iseng membaca kembali tulisanku tersebut.
Namun keheningan di kelas ini mendadak buyar ketika Priska tiba-tiba muncul dan langsung merampas buku diary yang sedang kubaca itu.
“Nah lo baca buku apaan, nih?”
Aku kaget dan langsung mencoba untuk merebut kembali buku tersebut.
“Dio Anggara~”, Priska mulai membaca apa yang kutulis tadi.
“Priska, balikkin gak!!”
Tanpa melepas tatapannya dari halaman di buku tersebut, Priska kembali bergumam.
“Jadi selama ini diam-diam lo pacaran sama Dio Anggara??!!”, tanya Priska setengah berteriak.
“Jangan keras-keras!!! Balikkin bukunya!”
Bukannya menuruti perkataanku, Priska malah berlari keluar kelas. Ia sengaja berlari ke tempat teman-teman yang lainnya sedang rehat di sisi lapangan basket, termasuk Dio.
“Dio!!!!!!!!!!!!”, teriak Priska. Jantungku mau copot rasanya. Dio pasti akan semakin menganggapku musuh jika Priska sampai mengetahui mengenai masa lalu yang rahasia itu.
Dio yang mendengar teriakkan Priska langsung mengalihkan perhatiannya ke arah gadis yang berlari menghampirinya tersebut dengan sebuah buku di tangannya. “Ada apa sih teriak-teriak?”, tanya Dio dengan tampang agak kesal.
“Jadi, selama ini lo pacaran sama Arin?? Kok kalian gak bilang-bilang, sih??!” Kata Priska di hadapan Dio dan di dengar oleh seluruh teman sekelas kami yang saat itu berada di sisi lapangan basket tersebut.
Malu! Aku benar-benar merasa malu dengan apa yang dilakukan oleh Priska.
“Pris! Balikkin buku gue!”
“Ngaku dulu soal hubungan lo sama Dio. Baru gue balikkin!”
Aku melihat ke arah Dio yang terlihat amat marah. Sementara itu teman-temanku yang lain terlihat tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Priska. Dio seorang anak konglomerat berwajah tampan, mana mungkin dia mau berpacaran dengan seorang kutu buku berkacamata yang terlahir dalam sebuah keluarga sederhana seperti aku? Pasti itu yang mereka pikirkan.
Sorry….” , desisku perlahan. Semoga Dio paham bahwa bukan maksudku sengaja menyebarkan mengenai hal ini. Semua ini tanpa unsur kesengajaan.
“Berarti benar ya kalian pacaran???!”, teriak Priska lagi.
“Pris!!”, aku memohon agar Priska tak mengulang-ulang kalimat itu lagi. Aku merasa tak enak pada Dio.
“Hah? Hahahahahahaha”, ketika aku panik, Priska heboh, yang lain kebingungan, tiba-tiba Dio malah tertawa. “Kalian bercandanya garing banget sih! HAHAHAHA”.
“Kok bercanda, sih?”, Priska mulai bingung.
Aku hanya mengerutkan kening.
“Lah, terus apa namanya kalo bukan bercanda? Modus? Mikir dong pake logika, mana mungkin gue pacaran sama cewek kayak Arin? Hahahahaha”.
Kalimat Dio bagaikan ribuan jarum yang menusuk-nusuk di ulu hatiku. Kenapa Dio berkata seperti itu?
“Heh, Rin. Lo apa-apaan, sih? Ngapain pake acara ngaku-ngaku jadi pacar gue? Pengen numpang tenar??”, lanjut Dio lagi. “Ngaca dong!”.
Dibalik kacamata minus ku bisa kurasakan airmata mulai tergenang disana. Nafasku tercekat, perih.
“Hahahahha. Si Arin cerita apaan ke lo, Pris? Dia ngarang plus ngarep kali tuh!”
“Lagian gak mungkin lah Dio mau sama Arin, hahahaha”
Mereka tertawa puas, begitu pula Dio. Dia tertawa seenaknya tanpa beban. Apa dia sadar sudah melukai hatiku?
Dio yang kulihat sekarang tak seperti Dio yang dulu pernah memintaku untuk bertahan dengannya. Dio yang ini seperti orang asing. 180 derajat berbeda!
Aku berlari sekuat tenaga, sekencang mungkin menjauhi mereka semua. Gelak tawa mereka bagaikan pisau yang menyayat-nyayat hatiku. Kenapa mereka begitu tega? Kenapa Dio tega?? Kenapa?!
***
Aku berdiri di ujung jalan yang jaraknya beberapa meter dari gerbang sekolah. Tempat yang seharusnya menjadi saksi dari hubungan tak jelas itu. Aku menyuruh Dio datang kesini untuk menjelaskan padaku kenapa dia setega itu membuatku malu di depan teman-teman. Aku harus bicara dengannya…
Tak lama aku menunggu, Dio akhirnya tiba di tempat itu. Aku langsung menyerangnya dengan pertanyaan yang sudah kusiapkan.
“Kenapa kamu ngomong gitu ke teman-teman?”
“Gitu gimana? Toh emang benar kita gak pernah pacaran, kan?”, jawabnya lantang.
“Terus? Yang dulu itu apa? Hubungan kita kamu anggap apa? Sampah?”, aku berbalik membentaknya. Antara marah, kesal, kecewa, semua bercampur jadi satu.
“Hubungan yang mana? Emang gue pernah minta lo buat jadi pacar gue? Emang gue pernah nembak lo terus kita jadian, gitu?”, tanya Dio. Aku terdiam. “Enggak, kan?!”, bentaknya di wajahku.
Perlahan aku memutar ingatan-ingatan masa lalu. Dan menyadari memang sepanjang hubugan itu tak sekalipun Dio pernah memintaku untuk menjadi pacarnya. Tapi, kenapa dia bisa secerdik itu? Seolah sengaja agar aku tak bisa berkata apapun setelah ia kembali melempariku dengan pertanyaan-pertanyaan menyakitkan itu.
Lantas, apa maksud kalimat-kalimatnya saat itu? ‘begging me to stay, wanna be the last one…’
Apa?!
Aku hanya mampu berteriak dalam hati, karena aku paham, percuma meskipun menentang Dio yang mana jelas-jelas ia sudah tak ingin mengakui hubungan tersebut.
Kenapa aku begitu bodoh??!!
“Udah? Jelas, kan? Mulai detik ini anggap kita gak pernah kenal. Gue gak pernah punya perasaan apa-apa ke lo. Bye!”, kata Dio, kemudian ia meninggalkanku masih di ujung jalan ini.
Betapa bodoh dan sialnya aku……
Ujung jalan ini menjadi saksi bahwa hubungan itu pernah ada. Andai saja hubungan itu tak backstreet. Ah, sudahlah. Kurasa orang seperti Dio memang tak pantas untukku. Dia terlalu jahat untuk menjadi orang terakhir yang kucintai.
Aku percaya, Tuhan tak pernah tidur. Mungkin Dio bisa mengelak dan tak mengakui mengenai hubungan tersebut pada siapapun, tapi tetap kenyataannya aku, Dio, dan Tuhan tau bahwa hubungan itu pernah ada.
“I just wanna be the last one who says happy birthday to you-“
Sorry, you couldn’t be the last one who says happy birthday to me, because it wasn’t the last birthday in my life.
“-including the last one you love….”
And sorry, you’re not the last one I love, because this is not the last relationship in my life.
Exactly, you’re not the last one.

sumber : http://misslabil.blogspot.com/

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking